PERTEMUAN
DUA HATI KARYA Nh. DINI
Sinopsis
Kepindahan suami Bu Suci ke Semarang, memaksa guru sekolah
dasar itu juga ikut pindah ke sana. Beruntung ada salah satu sekolah yang
menerimanya mengajar sehingga Bu Suci tidak terlalu lama menganggur. “Katanya,
ada kemungkinan aku akan mengajar lebih dini yang telah direncanakan semula.”
(PHD: 2009, 18). Menurut kepala sekolah, ada guru yang mengalami kecelakaan. Bu
Suci menggantikan tempat guru yang mendapat kecelakaan itu, yakni mengajar dua
kelas.
Pada awal menjalankan tugasnya sebagai guru yang memegang
dua kelas, keduanya kelas tiga, Bu Suci menjalankan tugasnya dengan baik. Semua
berjalan lancar. Begitu pula urusan rumah tangganya tak menemui masalah. Namun,
pada hari keempat, Bu Suci, yang telah mempunyai sepasang putra, memperoleh
keterangan bahwa salah seorang muridnya, Waskito belum juga masuk kelas. Ia
heran, sebab semua murid yang sekelas dengan Waskito tak satu pun yang
mengetahui mengapa murid itu belum juga masuk kelas. Ternyata, di nkalangan
teman-temannya, Waskito dikenal sebagai murid bengal. Begitu pula guru-guru
menyebutnya sebagai murid yang nakal, murid yang sering membuat kekacauan.
Itulah yang dihadapi oleh Bu Suci. Ia bertekad untuk
mengembalikan Waskito menjadi murid yang wajar. Bersamaan dengan itu, masalah
lain datang pula. Itu menyangkut anaknya sendiri. Si bungsu ternyata mengidap
penyakit ayan. Itu berarti pula perhatian khusus harus diberikan demi
kesembuhan anak keduanya itu. Dengan demikian, dua masalah sekaligus datang
menimpa Bu Suci. Saat itu terbesit keraguaannya dalam menyelesaikan masalah
ini. Sebagai ibu ia tidak ingin masa depan anaknya suram, dan sebagai guru, ia
juga berharap agar semua muridnya menjadi anak yang baik, anak yang berguna
bagi sesama.
Pernah terlintas dalam pikiran Bu Suci untuk lebih perhatian
pada anaknya sendiri; “Sepintas lalu, tentu saja aku mementingkan anakku
daripada muridku. Tetapi benarkah sikap itu?” (PDH, 2009: 46). Di lain
pihak, ia juga menyadari profesinya sebagai guru; sebagai (orang tua bagi
murid-muridnya. Maka, keputusan Bu Suci adalah tidak memilih salah satu dari
persoalan itu, melainkan memilih keduanya, “anak dan murid”. Bukan anak atau
murid. “Ya, akhirnya itulah yang harus kupilih: kedua-duanya” (PDH,
2009: 47).
Sementara Bu Suci terus memperhatikan anak bungsunya,
ia berusaha mencari keterangan perihal latar belakang kehidupan Waskito. Dari
sejumlah informasi, akhir-akhirnya ia menyimpulkan bahwa kenakalan Waskito
sesungguhnya adalah semacam konpensasi anak yang merasa kurang mendapat
perhatian kedua orang tuanya.“Jelas anak-anak lain tidak akan memandang hal
itu sebagai satu masalah. Namun, bagi Waskito, yang sedari kecil merasa
ditolak, tidak diperhatikan, hal itu merupakan beban yang menganjal di hatinya”
(PDH: 2009, 52).
Kesimpulan tersebut telah memperkuat tekad Bu Suci untuk
mengembalikan Waskito menjadi murid yang wajar, sama seperti murid yang lain.
Waskito pada mulanya menanggapi secara baik. Murid-murid lainnya juga mulai
menerima Waskito sebagaimana biasanya hubungan sesama murid.
Sesungguhpun demikian, beberapa rekan sejawat Bu Suci ada
yang menanggapinya secara lain. Beberapa guru, ada yang kurang mendukung itikad
baik Bu Suci, yang menurut mereka berlebihan. Mereka juga beranggapan bahwa
anak macam Waskito yang sudah terbiasa dimanja dengan harta, tak bakal dpat
disembuhkan lagi. Anggapan itu kemudian seolah-olah memperoleh pembenaran,
ketika suatu hari Waskito mengamuk.
Tentu saja peristiwa itu sangat memukul hati Bu Suci. Ia
mulai meragukan kemampuannya untuk menyadarkan murid bengal itu. Di samping
itu, peristiwa itu juga telah “Menggoncang kepercayaan sekolah kepada
Waskito” (PDH: 2009, 69). Bu Suci kemudian diberi waktu sebulan dalam
usahanya menyadarkan Waskito. Bagaimana pun, idealismenya sebagai seorang guru
memberi keyakinan yang kuat pada dirinya bahwa dengan pendekatan dan cara yang
tepat,patilah murid bengal itu akan kembali menjadi murid yang wajar. Keyakinan
Bu Suci ternyata benar. Pada akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Tidak
hanya itu, ia juga menjadi murid yang baik.
Tentu saja Bu Suci merasa senang. Terlebih lagi, kesehatan
anak bungsunya juga semakin membaik dan tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda
kambuh.
Analisis Novel
A. Unsur Intrinsik Karya
1. Dalam novel ini
mengangkat tema nilai positif yang harus dimiliki seorang guru.
Beberapa nilai positif yang harus dimiliki guru adalah ketulusan, kesabaran,
keikhlasan, dan antusias dalam menjalankan profesinya sebagai seorang guru
(pendidik). Hal ini tercermin dari ungkapa Bu Suci:
“Sesudah
bertahun-tahun mengajar, aku tidak menyesal telah menuruti nasihat orang tua.
Aku
senang kepada pekerjaanku”. (PDH: 2009, 10)
Kutipan di atas membuktikan bahwa tokoh utama Bu Suci sebagai guru, senang
dengan pekerjaan yang dijalaninya. Kesenangan akan pekerjaan yang kita jalani
akan membuahkan hasil yang baik. Kesenangan itu termasuk dalam nilai positif
seorang guru, berawal dari kesenangan kemudian akan tumbuh rasa tulus, sabar,
ikhlas, dan antusias dalam menjalankan suatu profesi yang digeluti.
2. Tokoh dan Penokohan
Dalam
Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini terdapat beberapa tokoh utama
dan tokoh pendukung.
a. Tokoh Utama
(Aku Bu Suci) seseorang yang pandai. Seorang wanita yang memiliki IQ yang
memadai yang cepat menangkap pelajaran dan mengerti sesuatu, dan menginginkan pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk mendalami profesinya dan mengasah otaknya agar bertambah baik lagi dengan ilmu-ilmu yang didapatnya,
“Lulus
dari SPG aku ingin sekali meneruskan ke IKIP. Meskipun kemampuan otakku
memadai, Bapak tidak sanggup membiayai. Peraturan ikatan dinas tidak disetujui
orang tuaku.”
(PDH: 2009, 10).
Tokoh Bu Suci seorang guru sekaligus ibu rumah tangga yang
penyayang, perhatian dan memiliki idealisme yang tinggi dalam mendidik
anak-anak kandung dan anak-anak didiknya di sekolah. Bu Suci seorang ibu sekaligus
pendidik yang tidak hanya mementingkan dan memberikan kasih sayang serta
perhatian penuh kepada anak-anaknya saja akan tetapi ia juga memperlakuakan
anak didiknya sebagaimana anak kandungnya,
“Sebagai
wanita berkarir, aku tetap merasa lebih tenang jika dapat bekerja sekaligus
mengawasi anak-anakku.” (PDH: 2009, 13).
“ada
lima deratan bangku memanjang. Kuhitung nomer satu dari kiri ke kanan.
Misalnya,
nama Rusidah kutandai dengan pensil tulisan ke-te. Artinya, murid itu
duduk di deretan
bangku ke-3 di kelompok tengah.” (PDH: 2009, 25).
Tokoh Bu Suci merupakan seorang ibu yang mandiri. Seorang ibu yang tidak hanya
mengandalkan uang suaminya saja, akan tetapi Bu suci memiliki tekat yang kuat
ingin membantu meringankan beban suaminya dalam menghidupi rumah tangga dan
anak-anaknya dengan membantu sang suami mencari nafkah,
“Dan
agar biaya hidup tidak terlalu menekan bahu suamiku, aku harus kembali mengajar
secepat mungkin. Di mana pun selalu dibutuhkan guru.” (PDH: 2009, 12).
Bu Suci merupakan sosok guru yang
lembut, tegas, dan perduli terhadap sesama. Kelembutan seorang pendidik sangat dibutuhkan, karen
kelembutan dan ketegasan membuat nyaman anak didik untuk dekat dengan guru
mereka dan dapt menghormati guru mereka. Manusia bersosialisasi sesama manusia,
saling membantgu satu dengan yang lainnya, akan tetapi terkadang sifat manusia
berbeda ada yang perduli dengan sesama, ada pula yang tidak perduli. Pada sosok
Bu Suci ia memiliki rasa peduli yang sangat tinggi terhadap sesama,
“
Perintah itu kuberi tekanan lembut. Kuucapkan perlahan namun tegas. karena
tidak
menerima sahutan aku mengangkat muka, melihat ke tempat Raharjo.” (PDH:
2009, 26).
“Aku
ingin membantu dia. Dia juga akan dapat membantuku untuk mengenal bagaimana
Waskito itu.” (PDH: 2009, 33 ).
b. Waskito,
tokoh yang di sorot pula dalam novel PDH. Ia seorang anak laki-laki hidup
berkecukupan, anakan tetapi kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua
orang tuanya. Ia dinilai oleh semua teman dan lingkungan tempat ia bersekolah
jahat, nakal kepada teman-temannya, dan selalu memamerkan yang ia
punyai,
“Waskito
jahat atau nakal , saya tidak tahu , Bu! Tetapi dia memiliki kelainan, suka
memukul! Menyakiti siapa saja!”(PDH: 2009, 28).
“Bapaknya
jarang di rumah, seringkali bepergian keluar kota bahkan keluar negri. Kalau
pulang selalu membawa oleh-oleh. Baik berupa makanan dalam kaleng maupun
permainan
mewah. Begitu pula pakaian lengkap untuk menyamar sebagai cowboy, orang
Indian dan lain-lain.
Semuanya serba bagus. Waskito selalu bangga memamerkannya
kepada teman-temannya di
sekolah” (PDH: 2009, 31).
c. Tokoh Pendukung
Kedua orang tua Bu Suci merupakan sosok orang tua yang sayang dan perduli terhadap
anaknya,
“Ketika
aku lulus SD, orang tuaku menasehatkan agar masuk ke sekolah guru. Katanya
sangat
cocok bagi wanita. Untuk membujukku ibuku menambahkan, bahwa libur guru
sama
panjangnya dengan anak sekolah. Melebihi orang yang bekerja di kantor. Kata-kata
ini
diucapkan orang tuaku karena mereka mengetahui pekerjaan apa yang
sebenarnya aku inginkan.”
(PDH: 2009, 9).
Suami Bu Suci merupakan sosok suami yang penyayang, bertanggung jawab,
dan peduli terhadap keluarganya,
“Kata
suamiku, kami sekeluarga diwajibkan periksa kesehatan lengkap ke dokter
perusahaan.
Kami sedang mencari-cari kesempatan untuk dapat berangkat bersama.”
(PDH: 2009, 19).
Tiga anak Bu Suci adalah anak-anak yang penurut, lembut, cepat mengerti.
Dalam novel ini diceritakan anak kedua Bu Suci mengalami penyakit ayan.
“Dari
pola EEG itulah dokter mengetahui dan memastikan bahwa anakku menderita
penyakit sawan atau ayan.” (PDH: 2009, 48).
Uwak adalah tokoh seorang yang penyabar,
dan penuh kasih sayang terutama kepada anak-abak Bu Suci.
“Suamiku
berkta, barang kali udara kota Semarang kurang cocok bagi dia. Untunglah ada
Uwak. Setiap kali anakku itu rewel, dengan sabar Uwak membujuk dan melayaninya
” (PDH:
2009, 19).
Nenek Waskito, seorang nenek yang sangat sayang kepada cucunya (Waskito).
Ia menginginkan yang terbaik untuk cucunya, ia seorang yang dermawan,
penyanyang, ramah, dan lemah lembut.
“Dia
anak yang baik, Jeng. Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya sudah
sangat
bahagia rasanya!” (PDH: 2009, 43).
Selain
tokoh di atas adapula tokoh pendukung dalam novel ini. Seperti, ayah Waskito,
ibu Waskito, Istri RT, Kepala Sekolah SD, Kakek Waskito, guru agama, dan
murid-murid SD Semarang.
3. Latar
a. Tempat
3. Latar
a. Tempat
SD Semarang tempat Bu Guru Suci bekerja, ketika Bu Guru Suci pergi dengan
becak, dan anak kedua bu uci melihat-lihat ke sekolah. Dan kepala sekolah
mengantarkan Bu Suci ke ruang kelas.
“Ini
Ibu Suci,” katanya kepada para murid. “Selama beberapa hari, dua kelas
digabung.
Berusahalah tenang, jangan nakal. Tunjukkan kepada Bu Suci
bahwa kalian anak-anak kota
besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi
di mana Bu Suci sudah mengajar
sepuluh tahun lamanya.” (PDH: 2009, 24).
Rumah Nenek Waskito, suatu sore Bu Suci berkunjung di rumah Nenek Waskito, ia
bertemu dengan sepasang suami-isteri sebaya dengan kedua orang tua Bu Suci.
Sebegitu orang masuk ke rumah Nenek Waskito, terasa resapan keramahan dan
kesejahteraan.
“Tua-Tua
masih praktek, Jeng,” kata nenek muridku. “hanya dua kali seminggu. Dia
bergantian
dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya
buat tambah-tambah
belanja.” (PDH: 2009, 36).
Kota Semarang, setelah berpindahnya Bu Suci sekeluarga dari Purwodadi ke
Semarang, lingkungan yang dirasakan sangat berbeda sekali dengan Purwodadi,
“Semarang
sebagai kota pelabuhan merupakan gerbang berbagai pengaruh. Kebiasaan dan
tradisi yang dipertahankan oleh sekelompok masyarakat, di bagian-bagian
tertentu kota ini
bercampur dengan kebiasan baru.” (PDH: 2009, 13).
Rumah
Rukun Tetangga, Bu Suci bertemu dengan isteri pak
RT, dengan ramah dan sopan bu RT menyambut kedatangan Bu Suci,
“Setelah
basa-basi, pembicaraan sampai perihal anak-anak dan pekerjaan. Lalu dia
menceritkan kesibukkannya. Dia menjadi anggota bermacam-macam perkumpulan.”
(PDH:
2009, 14).
Kantor
Sekolah, ketika lonceng istirahat berbunyi, Bu Suci menyuruh ketua kelas
untuk mengumpulkan buku bacaan kembali ke kantor sekolah,
“Raharjo!
Buku bacaan akan dipergunakan kelas lain setelah istirahat ini. Kamu cepat
mengembalikannya ke lemari kantor, ya! Waskito! Tolong bawakan buku-buku tugas!
Saya
tidak dapat membawa semuanya sendiri.” (PDH: 2009, 55).
b. Latar Waktu
b. Latar Waktu
Sore Hari, langit tampak jingga, suatu sore Bu Suci berkunjung di
rumah Nenek Waskito, ia bertemu dengan sepasang suami-isteri sebaya dengan
kedua orang tua Bu Suci.
“Tua-Tua
masih praktek, Jeng,” kata nenek muridku. “hanya dua kali seminggu. Dia
bergantian
dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya
buat tambah-tambah
belanja.” (PDH: 2009, 36).
Pagi Hari, udara sejuk, angin berhebus dingin, pohon bergerarak
merasakan kencangnya serta dinginnya angin, banyak orang-orang berjalan cepat
menuju masjid.
“Ketika
sembahyang subuh, kurasakn kedinginan yang menunjam. Di Kota kecil seperti
Purwodadi pastilah orang dapat melihat pohon-pohon mangga yang lebat berbunga.”
(PDH: 2009, 22).
Malam hari, pemandangan rumah terlihat begitu eksotis, apalagi dengan
cahaya lampu yang memantul dari seluruh penjuru rumah. Lampu-lampu taman yang
bersinar menambah kesan eksotis yang telah ada.
“malamnya, aku gelisah.
Tidurku sangat terganggu. Dugaanku bermacam-macam.
Barangkali Waskito tidak
masuk esok pagi! Atau masuk, memebawa pisau, atau golok, atau
senjata lain yang
lebih mengerikan guna membalas dendam terhadapku! ...”. (PDH: 2009, 71).
Dua Hari Terakhir,
“Dua hari
terakhir, aku berurut-turut ke dokter perusahaan dan ke rumah sakit. Pada
prinsipnya,
untuk sementara selesailah pemeriksaan anakku.” (PDH, 2009:53).
4. Sudut Pandang
4. Sudut Pandang
Novel
Pertemuan Dua Hati, karya Nh. Dini posisi atau letak pengarang dalam
cerita yang dikarang mengunakan Aku-an, orang pertama serba tahu. Nh. Dini
menyampaikan atau memberikan gambaran dalam novelnya melalui Bu Suci. Setiap
peristiwa atau tokoh-tokoh dikenalkan oleh tokoh Bu Suci.
5. Alur
5. Alur
Alur
yang digunakan dalm novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini mengunakan
alur maju.
Awal:
perkenalan para tokoh-tokoh yang ada dalam novel. Perpindahan keluarga Bu Suci
dari Purwodadi ke Kota Semarang, dan perpindahannya ke sekolah baru menjadi
pendidik.
Konflik: awal konflik dimulai dari ketika Bu Suci mendapatkan anak
didiknya ada jarang masuk sekolah, dan dipandang murid nakal oleh teman dan
guru-guru. Dan anak keduanya yang sering sakit setelah pindah ke Semarang.
Klimaks: pusat konflik yang terjadi, ketika
Bu Guru Suci dihadapkan oleh dua permasalahan anatara anak kandungnya yang
mengalami penyakit ayan dan anak didiknya yang sukar.
Anti-klimaks: anak kandung Bu Guru Suci dengan
perawatan dan rajin meminum obat penyakitnya dapat disembuhkan dan anak
didiknya yang sukar seiring berjalannya atas perhatian Bu Suci ia dapat berubah
sifatnya menjadi baik, walau sering kambuh perangainya.
Akhir/penyelesaian: walaupun anak kandung Bu Suci mengalami penyakit ayan,
akan tetapi akhir cerita penyakit yang diderita anaknya tidak pernah kambuh
lagi, dan anak didiknya (Waskito) awal cerita anak yang sukar dan dijauhi
teman-temannya di akir cerita ia benar-benar berubah menjadi anak yang baik dan
menjadi murid lebih dari biasa saja.
6. Gaya Bahasa
6. Gaya Bahasa
Gaya
bahasa dalam novel Peretemuan Dua Hati karya Nh. Dini menggunakan bahasa
yang mudah dipahami oleh pembaca, dan ada beberapa gaya bahasa yang
digunakan dalam novel ini, seperti majas alegori, hiperbola, dan personifikasi;
“Rumah
yang dikontrak suamiku besar. Terlalu besar kelihatannyadari luar bagi kami
berlima.
Tetapi begitu orang masuk, barulah ketahuan bahwa sebenarnya kamarnya
hanya dua. Bentuk
ruang tengah memanjang, sehingga memeberi kesan bahwa rumah
itu luas.” (PDH, 2009:9).
Majas alegori, menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau
penggambaran cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias). Perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita, atau nilai kehidupan, spt kebijakan, kesetiaan, dan kejujuran).
“Kubayangkan
nenek ini, sepanjang hidup perkawinannya adalah isteri yang patuh.”
( PDH, 2009: 39 ).
Majas hiperbola, pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan, sehingga
kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
“Aku
tidak membiarkan dia tenggelam dalam kenangan yang terlalu berlarut-larut.”
(PDH, 2009:23).
Majas personifikasi, pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak
bernyawa sebagai manusia.
“Mendadak
satu perkiraan melintas di kepalaku. Anak itu tinggi hati, tidak mudah mengalah
dalam
semua hal.” (PDH, 2009: 82).
7. Amanat
1*Sebagai pendidik yang baik
haruslah kita memiliki kecintaan terhadap profesi yang kita jalani, dan kasih
sayang terhadap anak didik.
2*Jadilah seorang pendidik
yang tidak hanya melaksanakan tugas utama, akan tetapi bimbinglah anak didik
dengan baik dan benar agar menjadi seseorang yang berguna bagi masyarakat
sekitarnya.
Analisis Penokohan
Profesi Guru dalam Novel Pertemuan Dua Hati
Istilah profesi sering diberi makna secara kabur, karena
memang ada perbedaan antara sisi pandang akademik dan praktikal. Kekaburan kita
akan makna istilah “profesi” agaknya dapat diperjelas dengan mendudukkannya,
baik secara etimologi maupun terminologi. Secara etimologi, profesi
berasal dari bahasa Inggris profesion atau bahasa Latin profecus.
Artinya, mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan
pekerjaan tertentu. Bagi GPM (Guru Profesional Madani) pengakuan mampu
melaksanakan suatu pekerjaan yang diklaim sebagai keahliannyadapat berasal dari
siswa, kolega, kepala sekolah, pengawas, dan masyarakat pada umumnya.
Secara terminologi, profesi dapat diartikan suatu pekerjaan
yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dengan titik tekan pada
pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan yang dimaksud di sini
adalah ada persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan
perbuatan praktis.
Peran guru sangat dominan dan sentral dalam membentuk
generasi penerus bangsa. Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan,
karena gurulah yang bertanggung jawab dan secara langsung memimpin kegiatan
belajar dan mengajar di kelas yang menjadi inti kegiatan pendidikan. Guru
diharapkan dapat menjalankan tugasnya secara profesional dengan memiliki empat
kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan professional.
Tanggung jawab guru tidak hanya memberi pengetahuan, guru
diumpamakan seperti orang tua asuh, konselor, tutor, perawat, selimut keamanan,
dan psikolog. Pendidik hebat mengajar karena mereka mencintai profesinya
sebagai pendidik. Mereka benar-benar memehami bahwa imbalan tidak selalu
berbentuk uang. Mereka menikmati peluang untuk mengamati cahaya lampu pemahaman
yang nyala di otak anak, menampilkan rasa percaya diri pada anak.
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, guru
harus mengasihi murid-muridnya seperti mengasihi anak-anaknya, hubungan antara
guru dan murid haruslah baik dan erat, guru haruslah memperhatikan keadaan
anak-anak untuk mempelajari jiwa kanak-kanak, guru haruslah sadar akan
kewajiabannya terhadap masyarakat, guru haruslah menjadi contoh bagi keadilan,
kesucian, dan kesempurnaan, guru haruslah berlaku jujur dan ikhlas, guru
haruslah berhubungan dengan kehidupan masyarakat, guru haruslah cakap mengajak,
baik pimpinannya dan bijaksana dalam perbuatan, guru haruslah mempunyai jiwa
sekolah modern, guru haruslah mempunyai cita-cita yang tetap, guru haruslah
berbadan sehat, guru haruslah membiasakan murid-murid supaya mereka percaya
kepad diri sendiri, guru haruslah mementingkan hakikati (intisari) pelajaran,
bukan bentuknya yang lahir saja, guru harusalah berbicara dengan murid-murid
dengan bahasa yang mudah dipahami, guru haruslah memikirkan pendidikan akhlak,
guru haruslah mempunyai kepribadian yang kuat.
Seorang pendidik yang memiliki semangat tinggi akan selalu
berusaha mendidik peserta didiknya dengan tulus, Bu Suci merupakan cerminan
guru hakiki yang mengatasnamakan pahlawan tanpa tanda jasa yang membantu murid-muridnya
menjadi anak yang baik. Keikhlasan, semangat dan ketulusan Bu Suci dalam
mendidik dan mengajar anak didiknya tidak membuat ia putus asa dalam mencari
mutiara-mutiara di dasar lautan yang akan menjadi mutiara indah apabila sudah
ditata oleh sang pendidik.
1. Penokohan ditinjau dari
Nilai-Nilai Positif yang Harus Dimiliki Seorang Guru
Adapun
penokohan guru yang ditinjau dari nilai-nilai positif yang harus dimiliki
seorang guru adalah ketulusan, kesabaran, keikhlasan, antusias, pekerja keras,
berwibawa, motivatoris, menjadi teladan, penuh kasih sayang, optimis, religius,
demokratis, konsisten, profesional, dan mengajarkan kejujuran serta mengajarkan
kedisiplinan.
Ketulusan, ketulusan yaitu kesungguhan dalam
mengerjakan suatu pekerjaan. Ketulusan sangat penting dalam manjalankan sebuah
profesi atau pekerjaan agar hal yang kita lakukan terlaksana dengan baik dan
lancar. Dengan ketulusan hal yang terasa berat akan terasa ringan. Kesungguhan
dalam melakukan sesuatu pekerjaan dalam novel Pertemuan Dua Hati tergambar
pada diri Bu Suci,
“Aku
menyadari bahwa bekerja kembali menyebabkan hatiku merasa lebih lapang. Belum
sepekan lamanya mengenal murid-murid, namun aku sudah dapat menarik kesimpulan
akan
hasil yang akan dicapai akhir tahun.” (PDH, 2009: 25).
Kesabaran, karakter peserta didik yang bermacam-macam memntut
pendidik untuk memiliki kesabaran hati, jika seorang penddidik tidak memiliki
kesabaran hati maka sang pendidik akan mudah marah atau tempramental, hal itu
dapat membuat peserta didik tidak disukai oleh peserta didik. Dalam novel PHD
ini, tokoh Guru Suci memiliki kesabaran yang tinggi dalam menangani masalah
yang dialami peserta didiknya yang sukar,
“Aku
hampir kehilangan kesabaran untuk mengetahui mengapa Waskito begitu dihindari
teman-teman sekalasnya. Namun aku dapat mempertahankan sikap biasa. “Raharjo!
Ganti
kamu yang menjelaskan! Mengapa kalian takut pergi ke rumha Waskito!”
(PDH, 2009: 27).
Antusias, segala sesuatu yang kita lakukan dengan antusias akan
terasa ringan dan mudah dihadapi, walau hal itu terlihat sulit. Digambarkan
dalam tokoh Bu Suci yang memiliki antusias dalam menjalani profesinya sebagai
guru untuk mendidik anak didiknya menjadi anak yang dapat berguna bagi
masyarakat, walau ia memiliki masalah dalam keluarganya akan tetapi rasa
antusias terhadap pekerjaannya membuatnya semangat kembali untuk memebuat
peserta didiknya mengerti sesuatu pelajaran yang semula kurang dipahami peserta
didiknya,
“Sepintas
lalu, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi benarkah
sikap
itu? Benarkan pilihan ini? Didiktekan oleh suara hatiku yang sesungguhnya
dan setulus-
setulusnya? Aku menyukai kerjaanku sebagai guru. Tak terhingga rasa
lega yang kudapatkan
di saat-saat aku berhasil membuat seorang atau beberapa
anak didik mengerti sesuatu
pelajaran yang semula kurang dipahaminya.” (PDH,
2009: 46).
Pekerja keras, bekerja keras ada di dalam diri seseorang yang ingin
menggapai tujuan yang di cita-citakan. Sebagai seorang beriman, kita harus
mempunyai semangat kerja, baik bekerja untuk kepentingan hidup di dunia maupun
kepentingan akhirat. Sikap kerja keras lebih dikenal dengan sebutan etos kerja.
Kerja keras adalah suatu sikap kerja yang penuh dengan motivasi untuk
mendapatkan apa yang dicita-citakan. Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap
orang untuk memperoleh penghasilan guna apa yang dicita-citakan. Dalam novel
PDH Bu Suci seorang pekerja keras untuk membantu merubah anak muridnya yang
sukar menjadi anak yang baik, dengan permasalahan yang dihadapi ia pantang
menyerah untuk menggapai apa yang ia inginkan. Ia pula seorang ibu yang bekerja
keras berusaha menyembuhkan anak keduanya yang sedang sakit walau harus
mondar-mandir antra sekolah dengan rumah sakit.
“Yang
jelas, aku wajib mencoba melakukan pendekatan terhadap murid kelasku.
Keseimbangan dan ketenangan kelas yang menjadi tanggung jawabku sangat
memepengaruhi
karirku. Di samping itu, kedudukanku sebagai ibu rumah tangga
hanya dapat ku jalankan
dengan baik jika aku tidak menemukan kesulitan di
lapangan kerjaku.” (PDH, 2009: 33).
Berwibawa, walau seorang pendidik dekat dengan anak-anak didiknya, ia
harus memiliki rasa wibawa agar tidak diremehkan oleh anak didik. Dalam novel
PDH Bu Suci memiliki wibawa yang baik, walau ia dekat sekali dengan anak
didiknya tetapi ia dapat menguasai dan mempengaruhi serta dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah lakunya yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik,
“Kamu
yang menjadi ketua di sini, “kataku penuh tekanan, namun bernada halus. “saya
kira,
kamu seharusnya lebih tahu apa yang terjadi di dalam kelasmu. Bu Suci
orang baru di sini,
bukan? Kamulah yang memberi penjelasan apa yang saya
perlukan mengenai kelas ini.”
(PDH, 2009: 27)
Motivatoris, seorang pendidik itu sebagai motivator peserta didiknya
agar melakukan hal-halang yang baik dan menjauhkan hal yang dapat merusak
dirinya sendiri maupun orang lain. Jika ada peserta didik tidak bersemangat
dalam mengikuti pengajaran, sebagai guru mampu memotivasi anak didiknya agar
kembali bersemangat. Karya seorang guru tidak hanya mengajar saja, akan tetapi
mendidik. Bu Suci seorang motivator bagi anak-anak didiknya bahwa, tidak ada
anak yang jahat, tetapi nakal.
“Tidak
ada anak-anak yang jahat,” cepat aku menyambung, berusaha melembutkan
keheranan yang baru kuperlihatkan secara terang-terngan. “kalian masih tergolong
tingkatan
umur yang dapat dididik. Memeang kalian bukan anak-anak lagi! Tetapi
kalain sudah bisa
diajar berpikir teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana
yang buruk. Jadi, Bu Suci
beritahu sejalas-jelasnya: tidak ada anak jahat.
Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang
keterlaluan, anak itu mempunyai
kelainan. Tapi nakal, bukan jahat!”. (PDH, 2009: 28).
Menjadi teladan, seorang pendidik adalah teladan bagi peserta didiknya.
Seorang pendidik haruslah melakukan hal-hal yang baik agar anak didik bisa
mencontoh hal yang baik dari gurunya. Bu Suci dalam novel Nh. Dini, sangat
mengambarkan keteladanan seorang pendidik.
“Tetapi
aku bisa membagi waktuku. Untuk keperluan tes-tes yang tidak mempergunakan alat
ketepatan listrik, anakku kutinggal bersama pembantu atau Uwak. Aku berlari ke
sekolah,
sekedar meneggok setengah jam lamanya. Dengan demikian terus menerus
aku tetap
mengetahui perkembangan kelas yang menjadi tanggung jawabku.” (PDH, 2009:
57).
Penuh kasih sayang, seorang pendidik harus mencintai atau memberikan penuh kasih
sayang kepada anak-anak didiknya agar terjalin keharmonisan di dalam kelas, dan
agar mempermudah menjalani profesi sebagai guru.
“Ah,
kamu ini ada-ada saja! dari mana kau dapatkan gunting ini! “dan langsung aku
berbalik, memberikan gunting kepada kepala sekolah yang telah berada tepat di
sampingku.
Tanpa sesuatu kata, kurangkulkan lengan ke pundak Waskito. Segera
setengah kudorong
dia kuajak keluar menuju kantor” (PHD, 2009: 68).
Optimis,
segala masalah yang dihadapi oleh seorang pendidik walau tidak mendapat
dukungan dari berbagai pihak. Ia harus optimis dapat menyelesaikan masalah itu
dengan baik, jika itu hal yang benar. Optimis sangat dibutuhkan ketika seorang
pendidik menemukan peserta didiknya memiliki sikap yang tidak baik, sebagai
seorang guru haruslah merubah sifat yang tidak baik dalam diri peserta didik
menjadi anak yang baik.
“Anak
dan murid, bukan anak atau murid. Ya, akhirnya itulah yang harus kupilih: kedua-
duanya.
Aku ingin, dan aku minta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba,
mencakup
tugasku di dua bidang sebagai ibu dan sebagai guru. Dengan pertolonganNya,
pastilah aku akan berhasil.” (PDH, 2009: 47).
“Berilah
saya waktu sebulan lagi, “itu permintaanku dalam rapat.” Sebulan! “Seru seorang
guru, suaranya jengkel.“Sementara itu, sebelum waktu satu bulan habis,
barangkali besok
atau tiga hari lagi dia memebakar kelas anda! Membakar sekolah
kita!”. (PDH, 2009: 69).
Konsisten, sifat konsisten dalam diri seorang pendidik dapat
memperlihatkan ia seorang yang profesional atau tidak, jika ia tidak konsisten
dengan hal yang diucapkan atau dikerjakan maka dapat merubah pandangan
seseorang kepadanya. Bu Suci adalah guru yang konsisten untuk menolong peserta
didiknya yang sukar, walau banyak yang tidak mendukung tentang hal yang dia
pertahankan akan tetapi kekonsistenanya dapat membuahkan hasil yang baik.
“Dengan
susah payah aku mempertahankan muridku. Para rekan yang menginginkan
pengeluaran Waskito ternyata lebih banyak dari yang mendukngku. Tetapi aku
bersitahan.
(PHD, 2009: 69).
Profesional, seorang yang profesional dengan pekerjaannya sangat
dibutuhkan, agar pekerjaan yang ia tekunin tidak terbengkalai. Menjadi seorang
profesional mampu membagi waktu antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
umum, semua berjalan seimbang. Dalam kutipan di bawah Bu Suci berusahan menjadi
orang yang profesional, membagi waktu dengan kelurganya ketika ia berada di
rumah, dan meninggalkan urusan rumah ketika berada di sekolah.
“Persoalan
murid sukar tidak pernah kubawa ke rumah. Akau berusaha sedapat mungkin
memisahkan pekerjaan dari kehidupan keluarga. Diwaktu-waktu terlalu didesak
oleh
proyek atau urusan administrasi sehingga aku terpaksa membawa ulangan
maupun tes murid
ke rumah untuk kuperiksa, aku mempun yai peraturan yang hampir
selalu dapat
kupatuhi.(PDH, 2009: 34)
Kedisiplinan sikap kedisiplinan dalam diri seorang pendidik harus ada
karen pendidik adalah panutan bagi abak didiknya. Seorang pendidik yang
memilliki kedisiplinan akan menjadi contoh teladan bagi pada peserta didik.
Dalan novel Nh. Dini PHD, digambarkan dari sosok Bu Suci seorang pendidik yang
memiliki kedisiplinan bagus. Ia menerapkan kedisiplinan kepada peserta didiknya
untuk selalu menjaga kebersihan, seperti memeriksa kuku, kuping peserta
didiknya.
“Pemeriksaan
kebersihan semacam itu kuteruskan terhadap anak-anak didikku. Tetapi aku
tidak
memukul atau menyelintik keras cukup sebagai syarat untuk memeperlihatkan
kepada
murid lain, sehingga yang bersangkutan merasa malu. Dengan begitu
kuharapkan pada
hari-hari selanjutnya ia berubah menjadi lebih bersih. (PDH,
2009: 61).
*** SELESAI ***
By: Nurfitria Harnia
👍
BalasHapusTerimakasih ulasannya sangat membantu saya dalam pengerjaan tugas
BalasHapus