Rabu, 20 April 2016

Mengupas "Pertemuan Dua Hati", Karya Nh. Dini



ANALISIS PENOKOHAN GURU DALAM NOVEL
PERTEMUAN DUA HATI KARYA Nh. DINI

 Sinopsis
 Kepindahan suami Bu Suci ke Semarang, memaksa guru sekolah dasar itu juga ikut pindah ke sana. Beruntung ada salah satu sekolah yang menerimanya mengajar sehingga Bu Suci tidak terlalu lama menganggur. “Katanya, ada kemungkinan aku akan mengajar lebih dini yang telah direncanakan semula.” (PHD: 2009, 18). Menurut kepala sekolah, ada guru yang mengalami kecelakaan. Bu Suci menggantikan tempat guru yang mendapat kecelakaan itu, yakni mengajar dua kelas.
       Pada awal menjalankan tugasnya sebagai guru yang memegang dua kelas, keduanya kelas tiga, Bu Suci menjalankan tugasnya dengan baik. Semua berjalan lancar. Begitu pula urusan rumah tangganya tak menemui masalah. Namun, pada hari keempat, Bu Suci, yang telah mempunyai sepasang putra, memperoleh keterangan bahwa salah seorang muridnya, Waskito belum juga masuk kelas. Ia heran, sebab semua murid yang sekelas dengan Waskito tak satu pun yang mengetahui mengapa murid itu belum juga masuk kelas. Ternyata, di nkalangan teman-temannya, Waskito dikenal sebagai murid bengal. Begitu pula guru-guru menyebutnya sebagai murid yang nakal, murid yang sering membuat kekacauan.
Itulah yang dihadapi oleh Bu Suci. Ia bertekad untuk mengembalikan Waskito menjadi murid yang wajar. Bersamaan dengan itu, masalah lain datang pula. Itu menyangkut anaknya sendiri. Si bungsu ternyata mengidap penyakit ayan. Itu berarti pula perhatian khusus harus diberikan demi kesembuhan anak keduanya itu. Dengan demikian, dua masalah sekaligus datang menimpa Bu Suci. Saat itu terbesit keraguaannya dalam menyelesaikan masalah ini. Sebagai ibu ia tidak ingin masa depan anaknya suram, dan sebagai guru, ia juga berharap agar semua muridnya menjadi anak yang baik, anak yang berguna bagi sesama.
Pernah terlintas dalam pikiran Bu Suci untuk lebih perhatian pada anaknya sendiri; “Sepintas lalu, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi benarkah sikap itu?” (PDH, 2009: 46). Di lain pihak, ia juga menyadari profesinya sebagai guru; sebagai (orang tua bagi murid-muridnya. Maka, keputusan Bu Suci adalah tidak memilih salah satu dari persoalan itu, melainkan memilih keduanya, “anak dan murid”. Bukan anak atau murid. “Ya, akhirnya itulah yang harus kupilih: kedua-duanya” (PDH, 2009: 47).
Sementara Bu Suci terus  memperhatikan anak bungsunya, ia berusaha mencari keterangan perihal latar belakang kehidupan Waskito. Dari sejumlah informasi, akhir-akhirnya ia menyimpulkan bahwa kenakalan Waskito sesungguhnya adalah semacam konpensasi anak yang merasa kurang mendapat perhatian kedua orang tuanya.“Jelas anak-anak lain tidak akan memandang hal itu sebagai satu masalah. Namun, bagi Waskito, yang sedari kecil merasa ditolak, tidak diperhatikan, hal itu merupakan beban yang menganjal di hatinya” (PDH: 2009, 52).
Kesimpulan tersebut telah memperkuat tekad Bu Suci untuk mengembalikan Waskito menjadi murid yang wajar, sama seperti murid yang lain. Waskito pada mulanya menanggapi secara baik. Murid-murid lainnya juga mulai menerima Waskito sebagaimana biasanya hubungan sesama murid.
Sesungguhpun demikian, beberapa rekan sejawat Bu Suci ada yang menanggapinya secara lain. Beberapa guru, ada yang kurang mendukung itikad baik Bu Suci, yang menurut mereka berlebihan. Mereka juga beranggapan bahwa anak macam Waskito yang sudah terbiasa dimanja dengan harta, tak bakal dpat disembuhkan lagi. Anggapan itu kemudian seolah-olah memperoleh pembenaran, ketika suatu hari Waskito mengamuk.
Tentu saja peristiwa itu sangat memukul hati Bu Suci. Ia mulai meragukan kemampuannya untuk menyadarkan murid bengal itu. Di samping itu, peristiwa itu juga telah “Menggoncang kepercayaan sekolah kepada Waskito” (PDH: 2009, 69). Bu Suci kemudian diberi waktu sebulan dalam usahanya menyadarkan Waskito. Bagaimana pun, idealismenya sebagai seorang guru memberi keyakinan yang kuat pada dirinya bahwa dengan pendekatan dan cara yang tepat,patilah murid bengal itu akan kembali menjadi murid yang wajar. Keyakinan Bu Suci ternyata benar. Pada akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Tidak hanya itu, ia juga menjadi murid yang baik.
Tentu saja Bu Suci merasa senang. Terlebih lagi, kesehatan anak bungsunya juga semakin membaik dan tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda kambuh.

Analisis Novel
A.  Unsur Intrinsik Karya
1.  Dalam novel ini mengangkat tema nilai positif yang harus dimiliki seorang guru. Beberapa nilai positif yang harus dimiliki guru adalah ketulusan, kesabaran, keikhlasan, dan antusias dalam menjalankan profesinya sebagai seorang guru (pendidik). Hal ini tercermin dari ungkapa Bu Suci:

               “Sesudah bertahun-tahun mengajar, aku tidak menyesal telah menuruti nasihat orang tua. Aku    
                 senang kepada pekerjaanku”. (PDH: 2009, 10)

          Kutipan di atas membuktikan bahwa tokoh utama Bu Suci sebagai guru, senang dengan pekerjaan yang dijalaninya. Kesenangan akan pekerjaan yang kita jalani akan membuahkan hasil yang baik. Kesenangan itu termasuk dalam nilai positif seorang guru, berawal dari kesenangan kemudian akan tumbuh rasa tulus, sabar, ikhlas, dan antusias dalam menjalankan suatu profesi yang digeluti.

2. Tokoh dan Penokohan
Dalam Novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini terdapat beberapa tokoh utama dan tokoh pendukung.
a.    Tokoh Utama (Aku Bu Suci) seseorang yang pandai. Seorang wanita yang memiliki IQ yang memadai yang cepat menangkap pelajaran dan mengerti sesuatu, dan menginginkan pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk mendalami profesinya dan mengasah otaknya agar bertambah baik lagi dengan ilmu-ilmu yang didapatnya,
                 “Lulus dari SPG aku ingin sekali meneruskan ke IKIP. Meskipun kemampuan otakku 
                 memadai, Bapak tidak sanggup membiayai. Peraturan ikatan dinas tidak disetujui orang tuaku.”   
                 (PDH: 2009, 10).

Tokoh Bu Suci seorang guru sekaligus ibu rumah tangga yang penyayang, perhatian dan memiliki idealisme yang tinggi dalam mendidik anak-anak kandung dan anak-anak didiknya di sekolah. Bu Suci seorang ibu sekaligus pendidik yang tidak hanya mementingkan dan memberikan kasih sayang serta perhatian penuh kepada anak-anaknya saja akan tetapi ia juga memperlakuakan anak didiknya sebagaimana anak kandungnya,
                         “Sebagai wanita berkarir, aku tetap merasa lebih tenang jika dapat bekerja sekaligus 
                          mengawasi anak-anakku.” (PDH: 2009, 13).

                      “ada lima deratan bangku memanjang. Kuhitung nomer satu dari kiri ke kanan. Misalnya, 
                        nama Rusidah kutandai dengan pensil tulisan ke-te. Artinya, murid itu duduk di deretan   
                        bangku  ke-3 di kelompok tengah.” (PDH: 2009, 25).

Tokoh Bu Suci merupakan seorang ibu yang mandiri. Seorang ibu yang tidak hanya mengandalkan uang suaminya saja, akan tetapi Bu suci memiliki tekat yang kuat ingin membantu meringankan beban suaminya dalam menghidupi rumah tangga dan anak-anaknya dengan membantu sang suami mencari nafkah,

                  “Dan agar biaya hidup tidak terlalu menekan bahu suamiku, aku harus kembali mengajar  
                    secepat mungkin. Di mana pun selalu dibutuhkan guru.” (PDH: 2009, 12).

Bu Suci merupakan sosok guru yang lembut, tegas, dan perduli terhadap sesama. Kelembutan seorang pendidik sangat dibutuhkan, karen kelembutan dan ketegasan membuat nyaman anak didik untuk dekat dengan guru mereka dan dapt menghormati guru mereka. Manusia bersosialisasi sesama manusia, saling membantgu satu dengan yang lainnya, akan tetapi terkadang sifat manusia berbeda ada yang perduli dengan sesama, ada pula yang tidak perduli. Pada sosok Bu Suci ia memiliki rasa peduli yang sangat tinggi terhadap sesama,
                       “ Perintah itu kuberi tekanan lembut. Kuucapkan perlahan namun tegas. karena tidak 
                         menerima sahutan aku mengangkat muka, melihat ke tempat Raharjo.” (PDH: 2009, 26).

                   “Aku ingin membantu dia. Dia juga akan dapat membantuku untuk mengenal bagaimana 
                    Waskito itu.” (PDH: 2009, 33 ).

b. Waskito, tokoh yang di sorot pula dalam novel PDH. Ia seorang anak laki-laki hidup berkecukupan, anakan tetapi kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ia dinilai oleh semua teman dan lingkungan tempat ia bersekolah  jahat, nakal  kepada teman-temannya, dan selalu memamerkan yang ia punyai,
                     “Waskito jahat atau nakal , saya tidak tahu , Bu! Tetapi dia memiliki kelainan, suka
                       memukul! Menyakiti siapa saja!”(PDH: 2009, 28). 

               “Bapaknya jarang di rumah, seringkali bepergian keluar kota bahkan keluar negri. Kalau 
                pulang selalu membawa oleh-oleh. Baik berupa makanan dalam kaleng maupun permainan 
                mewah. Begitu pula pakaian lengkap untuk menyamar sebagai cowboy, orang Indian dan lain-lain.
               Semuanya serba bagus. Waskito selalu bangga memamerkannya kepada teman-temannya di 
               sekolah” (PDH: 2009, 31).

c.    Tokoh Pendukung
Kedua orang tua Bu Suci merupakan sosok orang tua yang sayang dan perduli terhadap anaknya,

                “Ketika aku lulus SD, orang tuaku menasehatkan agar masuk ke sekolah guru. Katanya sangat 
                 cocok bagi wanita. Untuk membujukku ibuku menambahkan, bahwa libur guru sama
                 panjangnya dengan anak sekolah. Melebihi orang yang bekerja di kantor. Kata-kata ini   
                diucapkan orang tuaku karena mereka mengetahui pekerjaan apa yang sebenarnya aku inginkan.” 
                (PDH: 2009, 9).

Suami Bu Suci merupakan sosok suami yang penyayang, bertanggung jawab, dan peduli terhadap keluarganya,
                “Kata suamiku, kami sekeluarga diwajibkan periksa kesehatan lengkap ke dokter perusahaan. 
                 Kami sedang mencari-cari kesempatan untuk dapat berangkat bersama.” (PDH: 2009, 19).

Tiga anak Bu Suci adalah anak-anak yang penurut, lembut, cepat mengerti. Dalam novel ini diceritakan anak kedua Bu Suci mengalami penyakit ayan. 
                        “Dari pola EEG itulah dokter mengetahui dan memastikan bahwa anakku menderita 
                         penyakit sawan atau ayan.” (PDH: 2009, 48).

    Uwak adalah tokoh seorang yang penyabar, dan penuh kasih sayang terutama kepada anak-abak Bu Suci.
                    “Suamiku berkta, barang kali udara kota Semarang kurang cocok bagi dia. Untunglah ada  
                     Uwak. Setiap kali anakku itu rewel, dengan sabar Uwak membujuk dan melayaninya ” (PDH: 
                     2009, 19).

Nenek Waskito, seorang nenek yang sangat sayang kepada cucunya (Waskito). Ia menginginkan yang terbaik untuk cucunya, ia seorang yang dermawan, penyanyang, ramah, dan lemah lembut.

                 “Dia anak yang baik, Jeng. Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya sudah sangat 
                  bahagia rasanya!” (PDH: 2009, 43).
Selain tokoh di atas adapula tokoh pendukung dalam novel ini. Seperti, ayah Waskito, ibu Waskito, Istri RT, Kepala Sekolah SD, Kakek Waskito, guru agama, dan murid-murid SD Semarang.  

3. Latar 
a. Tempat
 SD Semarang tempat Bu Guru Suci bekerja, ketika Bu Guru Suci pergi dengan becak, dan anak kedua bu uci melihat-lihat ke sekolah. Dan kepala sekolah mengantarkan Bu Suci ke ruang kelas.
                       “Ini Ibu Suci,” katanya kepada para murid. “Selama beberapa hari, dua kelas digabung.  
                       Berusahalah tenang, jangan nakal. Tunjukkan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota 
                      besar juga sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar 
                      sepuluh tahun lamanya.” (PDH: 2009, 24).
Rumah Nenek Waskito, suatu sore Bu Suci berkunjung di rumah Nenek Waskito, ia bertemu dengan sepasang suami-isteri sebaya dengan kedua orang tua Bu Suci. Sebegitu orang masuk ke rumah Nenek Waskito, terasa resapan keramahan dan kesejahteraan. 
                    “Tua-Tua masih praktek, Jeng,” kata nenek muridku. “hanya dua kali seminggu. Dia bergantian 
                     dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah 
                      belanja.” (PDH: 2009, 36).
Kota Semarang, setelah berpindahnya Bu Suci sekeluarga dari Purwodadi ke Semarang, lingkungan yang dirasakan sangat berbeda sekali dengan Purwodadi,
                   “Semarang sebagai kota pelabuhan merupakan gerbang berbagai pengaruh. Kebiasaan dan 
                     tradisi yang dipertahankan oleh sekelompok masyarakat, di bagian-bagian tertentu kota ini 
                    bercampur dengan kebiasan baru.” (PDH: 2009, 13).
Rumah Rukun Tetangga, Bu Suci bertemu dengan isteri pak RT, dengan ramah dan sopan bu RT menyambut kedatangan Bu Suci,
                     “Setelah basa-basi, pembicaraan sampai perihal anak-anak dan pekerjaan. Lalu dia 
                       menceritkan kesibukkannya. Dia menjadi anggota bermacam-macam perkumpulan.” (PDH: 
                       2009, 14).
                     Kantor Sekolah, ketika lonceng istirahat berbunyi, Bu Suci menyuruh ketua kelas untuk mengumpulkan buku bacaan kembali ke kantor sekolah,
                     “Raharjo! Buku bacaan akan dipergunakan kelas lain setelah istirahat ini. Kamu cepat 
                       mengembalikannya ke lemari kantor, ya! Waskito! Tolong bawakan buku-buku tugas! Saya 
                       tidak dapat membawa semuanya sendiri.”  (PDH: 2009, 55).  

b. Latar Waktu
Sore Hari, langit tampak jingga, suatu sore Bu Suci berkunjung di rumah Nenek Waskito, ia bertemu dengan sepasang suami-isteri sebaya dengan kedua orang tua Bu Suci.
                  “Tua-Tua masih praktek, Jeng,” kata nenek muridku. “hanya dua kali seminggu. Dia bergantian   
                   dengan dokter muda, muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah 
                   belanja.” (PDH: 2009, 36).
Pagi Hari, udara sejuk, angin berhebus dingin, pohon bergerarak merasakan kencangnya serta dinginnya angin, banyak orang-orang berjalan cepat menuju masjid.
                  “Ketika sembahyang subuh, kurasakn kedinginan yang menunjam. Di Kota kecil seperti 
                   Purwodadi pastilah orang dapat melihat pohon-pohon mangga yang lebat berbunga.”
                   (PDH: 2009, 22).
Malam hari, pemandangan rumah terlihat begitu eksotis, apalagi dengan cahaya lampu yang memantul dari seluruh penjuru rumah. Lampu-lampu taman yang bersinar menambah kesan eksotis yang telah ada.
                   “malamnya, aku gelisah. Tidurku sangat terganggu. Dugaanku bermacam-macam.        
                    Barangkali Waskito tidak masuk esok pagi! Atau masuk, memebawa pisau, atau golok, atau 
                    senjata lain yang lebih mengerikan guna membalas dendam terhadapku! ...”. (PDH: 2009, 71).
 Dua Hari Terakhir,
                 “Dua hari terakhir, aku berurut-turut ke dokter perusahaan dan ke rumah sakit. Pada prinsipnya, 
                  untuk sementara selesailah pemeriksaan anakku.” (PDH, 2009:53). 

4. Sudut Pandang
Novel Pertemuan Dua Hati, karya Nh. Dini posisi atau letak pengarang dalam cerita yang dikarang mengunakan Aku-an, orang pertama serba tahu. Nh. Dini menyampaikan atau memberikan gambaran dalam novelnya melalui Bu Suci. Setiap peristiwa atau tokoh-tokoh dikenalkan oleh tokoh Bu Suci. 

5. Alur
Alur yang digunakan dalm novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini mengunakan alur maju.
Awal: perkenalan para tokoh-tokoh yang ada dalam novel. Perpindahan keluarga Bu Suci dari Purwodadi ke Kota Semarang, dan perpindahannya ke sekolah baru menjadi pendidik.
 Konflik: awal konflik dimulai dari ketika Bu Suci mendapatkan anak didiknya ada jarang masuk sekolah, dan dipandang murid nakal oleh teman dan guru-guru. Dan anak keduanya yang sering sakit setelah pindah ke Semarang.
Klimaks: pusat konflik yang terjadi, ketika Bu Guru Suci dihadapkan oleh dua permasalahan anatara anak kandungnya yang mengalami penyakit ayan dan anak didiknya yang sukar.
Anti-klimaks: anak kandung Bu Guru Suci dengan perawatan dan rajin meminum obat penyakitnya dapat disembuhkan dan anak didiknya yang sukar seiring berjalannya atas perhatian Bu Suci ia dapat berubah sifatnya menjadi baik, walau sering kambuh perangainya.
Akhir/penyelesaian: walaupun anak kandung Bu Suci mengalami penyakit  ayan, akan tetapi akhir cerita penyakit yang diderita anaknya tidak pernah kambuh lagi, dan anak didiknya (Waskito) awal cerita anak yang sukar dan dijauhi teman-temannya di akir cerita ia benar-benar berubah menjadi anak yang baik dan menjadi murid lebih dari biasa saja.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa dalam novel Peretemuan Dua Hati karya Nh. Dini menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, dan  ada beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini, seperti majas alegori, hiperbola, dan personifikasi;
                “Rumah yang dikontrak suamiku besar. Terlalu besar kelihatannyadari luar bagi kami berlima. 
                 Tetapi begitu orang masuk, barulah ketahuan bahwa sebenarnya kamarnya hanya dua. Bentuk 
                  ruang tengah memanjang, sehingga memeberi kesan bahwa rumah itu luas.” (PDH, 2009:9).
Majas alegori, menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias). Perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita, atau nilai kehidupan, spt kebijakan, kesetiaan, dan kejujuran).
               “Kubayangkan nenek ini, sepanjang hidup perkawinannya adalah isteri yang patuh.” 
                ( PDH, 2009: 39 ).

Majas hiperbola, pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan, sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
               “Aku tidak membiarkan dia tenggelam dalam kenangan yang terlalu berlarut-larut.”
                 (PDH, 2009:23).

Majas personifikasi, pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
              “Mendadak satu perkiraan melintas di kepalaku. Anak itu tinggi hati, tidak mudah mengalah dalam 
               semua hal.” (PDH, 2009: 82).
7. Amanat
1*Sebagai pendidik yang baik haruslah kita memiliki kecintaan terhadap profesi yang kita jalani, dan kasih sayang terhadap anak didik.
2*Jadilah seorang pendidik yang tidak hanya melaksanakan tugas utama, akan tetapi bimbinglah anak didik dengan baik dan benar agar menjadi seseorang yang berguna bagi masyarakat sekitarnya.

                            Analisis Penokohan Profesi Guru dalam Novel Pertemuan Dua Hati
Istilah profesi sering diberi makna secara kabur, karena memang ada perbedaan antara sisi pandang akademik dan praktikal. Kekaburan kita akan makna istilah “profesi” agaknya dapat diperjelas dengan mendudukkannya, baik secara etimologi  maupun terminologi. Secara etimologi, profesi berasal dari bahasa Inggris profesion atau bahasa Latin profecus. Artinya, mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu.  Bagi GPM (Guru Profesional Madani) pengakuan mampu melaksanakan suatu pekerjaan yang diklaim sebagai keahliannyadapat berasal dari siswa, kolega, kepala sekolah, pengawas, dan masyarakat pada umumnya.
Secara terminologi, profesi dapat diartikan suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dengan titik tekan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan yang dimaksud di sini adalah ada persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.
Peran guru sangat dominan dan sentral dalam membentuk generasi penerus bangsa. Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan, karena gurulah yang bertanggung jawab dan secara langsung memimpin kegiatan belajar dan mengajar di kelas yang menjadi inti kegiatan pendidikan. Guru diharapkan dapat menjalankan tugasnya secara profesional dengan memiliki empat kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan professional.
Tanggung jawab guru tidak hanya memberi pengetahuan, guru diumpamakan seperti orang tua asuh, konselor, tutor, perawat, selimut keamanan, dan psikolog. Pendidik hebat mengajar karena mereka mencintai profesinya sebagai pendidik. Mereka benar-benar memehami bahwa imbalan tidak selalu berbentuk uang. Mereka menikmati peluang untuk mengamati cahaya lampu pemahaman yang nyala di otak anak, menampilkan rasa percaya diri pada anak.
Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru, guru harus mengasihi murid-muridnya seperti mengasihi anak-anaknya, hubungan antara guru dan murid haruslah baik dan erat, guru haruslah memperhatikan keadaan anak-anak untuk mempelajari jiwa kanak-kanak, guru haruslah sadar akan kewajiabannya terhadap masyarakat, guru haruslah menjadi contoh bagi keadilan, kesucian, dan kesempurnaan, guru haruslah berlaku jujur dan ikhlas, guru haruslah berhubungan dengan kehidupan masyarakat, guru haruslah cakap mengajak, baik pimpinannya dan bijaksana dalam perbuatan, guru haruslah mempunyai jiwa sekolah modern, guru haruslah mempunyai cita-cita yang tetap, guru haruslah berbadan sehat, guru haruslah membiasakan murid-murid supaya mereka percaya kepad diri sendiri, guru haruslah mementingkan hakikati (intisari) pelajaran, bukan bentuknya yang lahir saja, guru harusalah berbicara dengan murid-murid dengan bahasa yang mudah dipahami, guru haruslah memikirkan pendidikan akhlak, guru haruslah mempunyai kepribadian yang kuat.
Seorang pendidik yang memiliki semangat tinggi akan selalu berusaha mendidik peserta didiknya dengan tulus, Bu Suci merupakan cerminan guru hakiki yang mengatasnamakan pahlawan tanpa tanda jasa yang membantu murid-muridnya menjadi anak yang baik. Keikhlasan, semangat dan ketulusan Bu Suci dalam mendidik dan mengajar anak didiknya tidak membuat ia putus asa dalam mencari mutiara-mutiara di dasar lautan yang akan menjadi mutiara indah apabila sudah ditata oleh sang pendidik.
1.   Penokohan ditinjau dari Nilai-Nilai Positif yang Harus Dimiliki Seorang Guru
           Adapun penokohan guru yang ditinjau dari nilai-nilai positif yang harus dimiliki seorang guru adalah ketulusan, kesabaran, keikhlasan, antusias, pekerja keras, berwibawa, motivatoris, menjadi teladan, penuh kasih sayang, optimis, religius, demokratis, konsisten, profesional, dan mengajarkan kejujuran serta mengajarkan kedisiplinan.
Ketulusan, ketulusan yaitu kesungguhan dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Ketulusan sangat penting dalam manjalankan sebuah profesi atau pekerjaan agar hal yang kita lakukan terlaksana dengan baik dan lancar. Dengan ketulusan hal yang terasa berat akan terasa ringan. Kesungguhan dalam melakukan sesuatu pekerjaan dalam novel Pertemuan Dua Hati tergambar pada diri Bu Suci,
                       “Aku menyadari bahwa bekerja kembali menyebabkan hatiku merasa lebih lapang. Belum 
                        sepekan lamanya mengenal murid-murid, namun aku sudah dapat menarik kesimpulan akan 
                        hasil yang akan dicapai akhir tahun.” (PDH, 2009: 25).
Kesabaran, karakter peserta didik yang bermacam-macam memntut pendidik untuk memiliki kesabaran hati, jika seorang penddidik tidak memiliki kesabaran hati maka sang pendidik akan mudah marah atau tempramental, hal itu dapat membuat peserta didik tidak disukai oleh peserta didik. Dalam novel PHD ini, tokoh Guru Suci memiliki kesabaran yang tinggi dalam menangani masalah yang dialami peserta didiknya yang sukar,
                        “Aku hampir kehilangan kesabaran untuk mengetahui mengapa Waskito begitu dihindari   
                         teman-teman sekalasnya. Namun aku dapat mempertahankan sikap biasa. “Raharjo! Ganti 
                         kamu yang menjelaskan! Mengapa kalian takut pergi ke rumha Waskito!” (PDH, 2009: 27).
Antusias, segala sesuatu yang kita lakukan dengan antusias akan terasa ringan dan mudah dihadapi, walau hal itu terlihat sulit. Digambarkan dalam tokoh Bu Suci yang memiliki antusias dalam menjalani profesinya sebagai guru untuk mendidik anak didiknya menjadi anak yang dapat berguna  bagi masyarakat, walau ia memiliki masalah dalam keluarganya akan tetapi rasa antusias terhadap pekerjaannya membuatnya semangat kembali untuk memebuat peserta didiknya mengerti sesuatu pelajaran yang semula kurang dipahami peserta didiknya,
                      “Sepintas lalu, tentu saja aku mementingkan anakku daripada muridku. Tetapi benarkah sikap 
                        itu? Benarkan pilihan ini? Didiktekan oleh suara hatiku yang sesungguhnya dan setulus-
                       setulusnya? Aku menyukai kerjaanku sebagai guru. Tak terhingga rasa lega yang kudapatkan 
                       di saat-saat aku berhasil membuat seorang atau beberapa anak didik mengerti sesuatu 
                       pelajaran yang semula kurang dipahaminya.” (PDH, 2009: 46).
Pekerja keras, bekerja keras ada di dalam diri seseorang yang ingin menggapai tujuan yang di cita-citakan. Sebagai seorang beriman, kita harus mempunyai semangat kerja, baik bekerja untuk kepentingan hidup di dunia maupun kepentingan akhirat. Sikap kerja keras lebih dikenal dengan sebutan etos kerja. Kerja keras adalah suatu sikap kerja yang penuh dengan motivasi untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan. Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk memperoleh penghasilan guna apa yang dicita-citakan. Dalam novel PDH Bu Suci seorang pekerja keras untuk membantu merubah anak muridnya yang sukar menjadi anak yang baik, dengan permasalahan yang dihadapi ia pantang menyerah untuk menggapai apa yang ia inginkan. Ia pula seorang ibu yang bekerja keras berusaha menyembuhkan anak keduanya yang sedang sakit walau harus mondar-mandir antra sekolah dengan rumah sakit.
                   “Yang jelas, aku wajib mencoba melakukan pendekatan terhadap murid kelasku. 
                    Keseimbangan dan ketenangan kelas yang menjadi tanggung jawabku sangat memepengaruhi 
                    karirku. Di samping itu, kedudukanku sebagai ibu rumah tangga hanya dapat ku jalankan 
                    dengan baik jika aku tidak menemukan kesulitan di lapangan kerjaku.” (PDH, 2009: 33).

Berwibawa, walau seorang pendidik dekat dengan anak-anak didiknya, ia harus memiliki rasa wibawa agar tidak diremehkan oleh anak didik. Dalam novel PDH Bu Suci memiliki wibawa yang baik, walau ia dekat sekali dengan anak didiknya tetapi ia dapat menguasai dan mempengaruhi serta dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah lakunya yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik,
                      “Kamu yang menjadi ketua di sini, “kataku penuh tekanan, namun bernada halus. “saya kira, 
                       kamu seharusnya lebih tahu apa yang terjadi di dalam kelasmu. Bu Suci orang baru di sini, 
                       bukan? Kamulah yang memberi penjelasan apa yang saya perlukan mengenai kelas ini.”   
                        (PDH, 2009: 27)
Motivatoris, seorang pendidik itu sebagai motivator peserta didiknya agar melakukan hal-halang yang baik dan menjauhkan hal yang dapat merusak dirinya sendiri maupun orang lain. Jika ada peserta didik tidak bersemangat dalam mengikuti pengajaran, sebagai guru mampu memotivasi anak didiknya agar kembali bersemangat. Karya seorang guru tidak hanya mengajar saja, akan tetapi mendidik. Bu Suci seorang motivator bagi anak-anak didiknya bahwa, tidak ada anak yang jahat, tetapi nakal.
                    “Tidak ada anak-anak yang jahat,” cepat aku menyambung, berusaha melembutkan 
                      keheranan  yang baru kuperlihatkan secara terang-terngan. “kalian masih tergolong tingkatan 
                      umur yang dapat dididik. Memeang kalian bukan anak-anak lagi! Tetapi kalain sudah bisa
                     diajar berpikir teratur, ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci 
                      beritahu sejalas-jelasnya: tidak ada anak jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalan yang 
                      keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi nakal, bukan jahat!”. (PDH, 2009: 28).

Menjadi teladan, seorang pendidik adalah teladan bagi peserta didiknya. Seorang pendidik haruslah melakukan hal-hal yang baik agar anak didik bisa mencontoh hal yang baik dari gurunya. Bu Suci dalam novel Nh. Dini, sangat mengambarkan keteladanan seorang pendidik.
                    “Tetapi aku bisa membagi waktuku. Untuk keperluan tes-tes yang tidak mempergunakan alat 
                      ketepatan listrik, anakku kutinggal bersama pembantu atau Uwak. Aku berlari ke sekolah, 
                      sekedar meneggok setengah jam lamanya. Dengan demikian terus menerus aku tetap 
                      mengetahui perkembangan kelas yang menjadi tanggung jawabku.” (PDH, 2009: 57).

Penuh kasih sayang, seorang pendidik harus mencintai atau memberikan penuh kasih sayang kepada anak-anak didiknya agar terjalin keharmonisan di dalam kelas, dan agar mempermudah menjalani profesi sebagai guru.
                        “Ah, kamu ini ada-ada saja! dari mana kau dapatkan gunting ini! “dan langsung aku 
                         berbalik, memberikan gunting kepada kepala sekolah yang telah berada tepat di sampingku.
                        Tanpa sesuatu kata, kurangkulkan lengan ke pundak Waskito. Segera setengah kudorong 
                        dia kuajak keluar menuju kantor” (PHD, 2009: 68).

Optimis, segala masalah yang dihadapi oleh seorang pendidik walau tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Ia harus optimis dapat menyelesaikan masalah itu dengan baik, jika itu hal yang benar. Optimis sangat dibutuhkan ketika seorang pendidik menemukan peserta didiknya memiliki sikap yang tidak baik, sebagai seorang guru haruslah merubah sifat yang tidak baik dalam diri peserta didik menjadi anak yang baik.
                      “Anak dan murid, bukan anak atau murid. Ya, akhirnya itulah yang harus kupilih: kedua-
                       duanya. Aku ingin, dan aku minta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba, 
                       mencakup tugasku di dua bidang sebagai ibu dan sebagai guru. Dengan pertolonganNya, 
                       pastilah aku akan berhasil.” (PDH, 2009: 47).

                     “Berilah saya waktu sebulan lagi, “itu permintaanku dalam rapat.” Sebulan! “Seru seorang 
                      guru, suaranya jengkel.“Sementara itu, sebelum waktu satu bulan habis, barangkali besok
                      atau tiga hari lagi dia memebakar kelas anda! Membakar sekolah kita!”. (PDH, 2009: 69).
Konsisten, sifat konsisten dalam diri seorang pendidik dapat memperlihatkan ia seorang yang profesional atau tidak, jika ia tidak konsisten dengan hal yang diucapkan atau dikerjakan maka dapat merubah pandangan seseorang kepadanya. Bu Suci adalah guru yang konsisten untuk menolong peserta didiknya yang sukar, walau banyak yang tidak mendukung tentang hal yang dia pertahankan akan tetapi kekonsistenanya dapat membuahkan hasil yang baik.
                      “Dengan susah payah aku mempertahankan muridku. Para rekan yang menginginkan 
                        pengeluaran Waskito ternyata lebih banyak dari yang mendukngku. Tetapi aku bersitahan. 
                       (PHD, 2009: 69).

Profesional, seorang yang profesional dengan pekerjaannya sangat dibutuhkan, agar pekerjaan yang ia tekunin tidak terbengkalai. Menjadi seorang profesional mampu membagi waktu antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum, semua berjalan seimbang. Dalam kutipan di bawah Bu Suci berusahan menjadi orang yang profesional, membagi waktu dengan kelurganya ketika ia berada di rumah, dan meninggalkan urusan rumah ketika berada di sekolah.
                       “Persoalan murid sukar tidak pernah kubawa ke rumah. Akau berusaha sedapat mungkin 
                        memisahkan pekerjaan dari kehidupan keluarga. Diwaktu-waktu terlalu didesak oleh 
                        proyek atau urusan administrasi sehingga aku terpaksa membawa ulangan maupun tes murid 
                        ke rumah untuk kuperiksa, aku mempun yai peraturan yang hampir selalu dapat 
                        kupatuhi.(PDH, 2009: 34)
Kedisiplinan sikap kedisiplinan dalam diri seorang pendidik harus ada karen pendidik adalah panutan bagi abak didiknya. Seorang pendidik yang memilliki kedisiplinan akan menjadi contoh teladan bagi pada peserta didik. Dalan novel Nh. Dini PHD, digambarkan dari sosok Bu Suci seorang pendidik yang memiliki kedisiplinan bagus. Ia menerapkan kedisiplinan kepada peserta didiknya untuk selalu menjaga kebersihan, seperti memeriksa kuku, kuping peserta didiknya.
                       “Pemeriksaan kebersihan semacam itu kuteruskan terhadap anak-anak didikku. Tetapi aku 
                        tidak memukul atau menyelintik keras cukup sebagai syarat untuk memeperlihatkan kepada 
                        murid lain, sehingga yang bersangkutan merasa malu. Dengan begitu kuharapkan pada 
                        hari-hari selanjutnya ia berubah menjadi lebih bersih. (PDH, 2009: 61).


                                                                   *** SELESAI  ***                  
                                                                                                                                  By: Nurfitria Harnia

2 komentar: