“
Tiaaaaaaaaaaaaa... Tegar...ayo cepat masukkan barang bawaan kalian ke dalam
mobil. Jangan lupa tolong bawakan handphone Mamah di atas meja makan dan
matikan semua lampu kamar kalian”.
Setelah
kami mematikan lampu kamar masing-masing, dan mengambil hp Mamah, dengan
tergesah-gesah aku dan kakakku berlari kearah mobil yang terparkir di halaman
rumah kami. Ku jawab panggilan Mamah dan Papahku, “ iyaaaaaaaaaa Mah, Pah”. Setelah semua siap,
kami berpamitan dengan pembantu rumah kami.
Dalam
perjalanan aku selalu bersyukur bisa memiliki keluarga yang begitu harmonis,
seakan tak pernah ada masalah yang menghampiri kami. Canda, tawa serta gurauan
selalu terdengar di sepanjang perjalanan kami menuju Pelabuhan Merak. Aku
melihat kakakku begitu manja dengan Papah dan Mamah. Ia memang anak yang
dimanja oleh Papah dan Mamahku, tapi itu tak membuatku iri padanya karena ku
tau mereka juga menyayangiku.
***
Pelabuhan
Merak, ku lihat itu dari plang yang ada di jalan. Yah, kami sudah sampai di
Pelabuhan Merak dan saatnya kami menyebrangi pulau Jawa menuju Sumatera. Ku
lihat begitu banyak mobil yang sedang mengantri masuk ke dalam kapal.
“Pah, kita sudah sampai ya di
Pelabuhan Merak?”, tanya kakakku yang terbangun dari tidurnya, “iya sayang kita
sudah sampai di Pelabuhan Merak”. Aku meledek kakakku, “makanya jangan buat
pulau teruuuuus...”. Ia membalas ledekanku, menimpukku dengan kotak tisu yang
ada di sebelahnya.
“Pukkkkk...
timpukan itu mengenai jidatku”. Ia pun tertawa puas karena bisa membalas
ledekanku. Aku hanya bisa meringis kesakitan.
Setelah beberapa jam kami mengatri,
tiba saatnya mobil yang dikendarai Papah masuk kapal. Setelah terparkir, kami
keluar dan menaiki anak tangga untuk melihat pemandangan dari atas kapal yang
telah berganti dengan suasanya malam hari. Kapal pun mulai berangkat, aku, Papah, Mamah
dan kakakku berfoto di atas kapal sesekali bersenda gurau. Ku lihat raut wajah
mereka yang ceria penuh kegembiraan.
Tak
lama kakakku memanggil. “dek, tolong
fotoin kakak di sini”, dengan tersenyum akupun pergi menghampirinya. Setelah
puas berfoto aku dan kakakku menghampiri ke dua orang tuaku yang tengah asyik
duduk di sekitar pagar kapal. Belum sampai kami di tepat orang tuaku, kurasakan
kapal mulai tidak beres.
“kak,
kapal ini miring”. Jeritku.
Aku dan kakakku terjatuh, kemudian cepat-cepat
bangkit menghampiri orang tua ku. Tak lama berselang orang-orang mulai panik
berlarian kesana-kemari, dan pengumuman dari awak kapal “kapal akan tenggelam,
telah kami siapkan skoci di samping kapal”. Kami pun melopat ke atas skoci,
tetapi Papah dan Mamahku tidak ada. Secepat kilat kapal yang kami tumpangi
tenggelam.
Sesampainya
di darat aku dan kakakku mencari Papah dan Mamah, hasilnya nihil mereka tidak
ada. Kami berdua mulai panik, berharap kedua orang tua kami selamat. Dua hari
kami menunggu, tak lama tanteku yang berada di Jakarta menjemput kami, aku dan
kakakku pulang ke Jakarta. Seminggu aku dan kakakku berada di rumah tanteku, dua
hari kemudian kami kembali ke rumah.
Telpon
berdering, kriiiiiiing..kriiiiiing...
Kakakku mengangkat telpon, setelah menutup
telpon kakakku berkata dengan nada pelan “itu telpon dari pihak yang berwajib
bahwa orang yang bernama Hendra Agus Setiawan dan Tiara Angun termasuk korban
yang meninggal”. Tak lama berselang, mobil ambulans yang mengantarkan mayat
Papah dan Mamahku berada di depan rumah.
Deg...
jantungku seakan berhenti berdetak, itu Mamah dan Papahku, “ya Allah... apa
yang terjadi, inikah awal cobaan dari-Mu?”. Air mataku menetes begitu deras
melihat Papah dan Mamahku terbujur kaku tak bergeming.
Kakakku hanya terdiam di sudut rumah. ku rangkul ia
melihat Papah dan Mamahku untuk terakhir kalinya, sebelum di salatkan dan di
kuburkan, tapi tak ada respon yang terlihat dari wajahnya, ia hanya terdiam dengan pandangan kosong.
Sesudah
dari pemakaman, ada seorang laki-laki yang tak asing bagiku menghampiri ku,
“kakak turut berduka, semoga beliau diampuni dosa-dosanya, maaf jika kakak
lancang. Kakak ingin memberikan undangan ini”. Setelah memberikan undangan itu,
ia pergi.
Sampai di rumah ku buka undangan itu ternyata
undangan pernikahan “Aprilio Angung & Ully Septiani”. Pacar kakakku menikah
dengan orang lain, “ya Allah cobaan apa lagi ini?” kataku dalam hati, tapi aku
harus tegar setegar nama ku.
Kakakku tak sengaja ikut membacanya, tapi ia hanya diam dan lekas pergi ke kamar. Aku
mengikutinya dan kulihat ia duduk di sudut kamarnya, hanya terdiam dengan
pandangan kosong.
***
Empat puluh delapan bulan sudah
berlalu, kini hanya kami berdua yang tinggal di rumah, pembantu rumah kami
sudah lama tidak bekerja lagi. Semenjak dua kejadian itu kakakku tak seperti
ketika orangtuaku masih hidup yang selalu ceria, suka menggambar, cerewet,
periang dan suka memasak, tapi kini ia hanya terdiam di sudut kamarnya dengan
tatapan kosong, berbicara entah apa yang ia bicarakan dan sering kali menjerit
tanpa sebab, terkadang jika kambuh penyakitnya barang yang ada didekatnya ia
lempar tanpa alasan yang logis dan ia tak mengenal ku lagi.
Dalam
empat tahun, sempat tiga bulan kakakku menghilang meninggalkan rumah. Menggelandang
tanpa arah dan tujuan, tapi berkat bantuan pihak yang berwajib, aku menemukan
kakakku, walau pakaian yang ia kenakan usang dan wajahnya kusam, tapi ku
bersyukur aku bisa bertemu dengan kakakku lagi.
Aku
berusaha untuk menyembuhkan penyakit yang dialami kakakku, aku pergi ke
paranormal, mencoba terapi, mencoba obat-obat tradisional tapi tak ada hasilnya.
Sempat ku pasrah untuk menghentikan pengobatan kakakku, tapi aku teringat
kembali pesan Mamah kepadaku dua minggu sebelum beliau meninggal.
“Tegar,
jaga kakakmu baik-baik dan jadilah anak laki-laki yang selalu tegar menghadapi
segala halang rintang dalam hidup ini, seperti namamu Tegar”. Dengan nada
lembutnya.
Setelah
ku ingat pesan Mamah, semangatku mulai muncul kembali untuk menyembuhkan kakakku
tercinta dari penyakitnya dan dengan keyakinanku “setiap penyakit pasti ada
obatnya” dalam hati ku berkata, “SEMANGAT!!!”.
***
Keesokak
harinya telpon berdering dan suara yang menelpon itu tanteku, beliau
menyarankan untuk membawa kakakku ke temannya yang ahli kejiwaan atau yang
biasa disebut Psikolog. Setelah tanteku memberikan alamatnya, segera ku bawa
kakakku pergi kesana.
Beberapa
jam telah berlalu, aku disuruh masuk keruangannya dan beliau menerangkan, bahwa
kakakku mengalami penyakit Skizofrenia.
Apa
dok? Skizofrenia, penyakit apa itu? Kataku dengan nada kaget.
Beliau menjelaskan bawah penyakit Skizofrenia itu semacam ganguan kejiwaan/ penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak, itu adalah gangguan jiwa psikotik (gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, atau perilaku kacau/aneh).
“oh, jiwa kakakku
terganggu”. Terpaku ku mendengar penjelasan itu.
Kamu tidak usah
khawatir, penyakit ini bisa disembuhkan asalkan ada dukungan dari pihak
keluarga untuk menjalankan terapi dan obat-obatan yang teratur. Suara itu
menghilangkan lamunanku.
Aku mulai rajin membawa
kakakku pergi terapi, dan menyuruhnya minum obat yang telah disarankan dokter,
walau ku harus mulai bekerja keras untuk membiayai semua keperluan penyembuhan
kakakku. Aku senang menemani kakakku kemana saja untuk melukis selama
berjam-jam agar kakakku dapat mengekspresikan perasaannya lewat lukisan-lukisannya.
***
Delapan belas bulan mengikuti terapi, terlihat
kesembuhan yang kakakku alami, ia kini bisa mengontrol perasaannya walaupun
masih mengonsumsi obat dari dokter, ia tak lagi berdiam diri di sudut kamar,
tak lagi menjerit, melempar benda tanpa alasan dan ia mampu menghasilkan karya-karya,
seperti lukis yang di jual disebuah pameran lukisan dengan harga mahal, walau
ia belum mengenalku, tapi batin ku berkata “suatu saat kakakku pasti mengenalku,
memanggil nama ku dan memelukku”.
Siang hari yang membuatku kagum ketika aku hendak
menjemput kakakku dari tempat terapi. Aku hendak memasuki halaman rumah sakit. Terdengar
suara, “Tegaaaaaaaar... adikku”. Setengah berlari dan memeluk tubuhku erat ia
menagis, “ adikku Tegar”.
“ kak tia..”, aku pun ikut menagis dalam pelukkannya.
“Terima kasih ya Allah... usahaku tak sia-sia, Engkau
telah sembuhkan kakakku. Kini kakakku sudah sembuh total dan mampu menerima
semua kenyataan pahit yang kami alami, ucapku dalam dekapan hangatnya.
Cerpen By: Nurfitria Harnia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar