Selasa, 19 April 2016

Skizofrenia

         Pagi itu begitu cerah, burung-burung seakan bersenandung dengan riang mengiringi langkahku beserta keluarga yang hendak pergi menyebrangi pulau sumatera, bersilahturahmi ke rumah kakek dan nenekku, itulah tujuan kami. Seakan matahari ikut tersenyum melihat kami sibuk memindahkan barang bawaan ke dalam mobil. Dari dalam mobil Mamah dan Papah memanggilku beserta kakakku dengan nada lebut dan penuh semangat.
 
“ Tiaaaaaaaaaaaaa... Tegar...ayo cepat masukkan barang bawaan kalian ke dalam mobil. Jangan lupa tolong bawakan handphone Mamah di atas meja makan dan matikan semua lampu kamar kalian”.

Setelah kami mematikan lampu kamar masing-masing, dan mengambil hp Mamah, dengan tergesah-gesah aku dan kakakku berlari kearah mobil yang terparkir di halaman rumah kami. Ku jawab panggilan Mamah dan Papahku,  “ iyaaaaaaaaaa Mah, Pah”. Setelah semua siap, kami berpamitan dengan pembantu rumah kami. 

Dalam perjalanan aku selalu bersyukur bisa memiliki keluarga yang begitu harmonis, seakan tak pernah ada masalah yang menghampiri kami. Canda, tawa serta gurauan selalu terdengar di sepanjang perjalanan kami menuju Pelabuhan Merak. Aku melihat kakakku begitu manja dengan Papah dan Mamah. Ia memang anak yang dimanja oleh Papah dan Mamahku, tapi itu tak membuatku iri padanya karena ku tau mereka juga menyayangiku.
***
Pelabuhan Merak, ku lihat itu dari plang yang ada di jalan. Yah, kami sudah sampai di Pelabuhan Merak dan saatnya kami menyebrangi pulau Jawa menuju Sumatera. Ku lihat begitu banyak mobil yang sedang mengantri masuk ke dalam kapal.

            “Pah, kita sudah sampai ya di Pelabuhan Merak?”, tanya kakakku yang terbangun dari tidurnya, “iya sayang kita sudah sampai di Pelabuhan Merak”. Aku meledek kakakku, “makanya jangan buat pulau teruuuuus...”. Ia membalas ledekanku, menimpukku dengan kotak tisu yang ada di sebelahnya.

“Pukkkkk... timpukan itu mengenai jidatku”. Ia pun tertawa puas karena bisa membalas ledekanku. Aku hanya bisa meringis kesakitan.

            Setelah beberapa jam kami mengatri, tiba saatnya mobil yang dikendarai Papah masuk kapal. Setelah terparkir, kami keluar dan menaiki anak tangga untuk melihat pemandangan dari atas kapal yang telah berganti dengan suasanya malam hari.  Kapal pun mulai berangkat, aku, Papah, Mamah dan kakakku berfoto di atas kapal sesekali bersenda gurau. Ku lihat raut wajah mereka yang ceria penuh kegembiraan. 

Tak  lama kakakku memanggil. “dek, tolong fotoin kakak di sini”, dengan tersenyum akupun pergi menghampirinya. Setelah puas berfoto aku dan kakakku menghampiri ke dua orang tuaku yang tengah asyik duduk di sekitar pagar kapal. Belum sampai kami di tepat orang tuaku, kurasakan kapal mulai tidak beres.
“kak, kapal ini miring”. Jeritku.

 Aku dan kakakku terjatuh, kemudian cepat-cepat bangkit menghampiri orang tua ku. Tak lama berselang orang-orang mulai panik berlarian kesana-kemari, dan pengumuman dari awak kapal “kapal akan tenggelam, telah kami siapkan skoci di samping kapal”. Kami pun melopat ke atas skoci, tetapi Papah dan Mamahku tidak ada. Secepat kilat kapal yang kami tumpangi tenggelam. 

Sesampainya di darat aku dan kakakku mencari Papah dan Mamah, hasilnya nihil mereka tidak ada. Kami berdua mulai panik, berharap kedua orang tua kami selamat. Dua hari kami menunggu, tak lama tanteku yang berada di Jakarta menjemput kami, aku dan kakakku pulang ke Jakarta. Seminggu aku dan kakakku berada di rumah tanteku, dua hari kemudian kami kembali ke rumah.

Telpon berdering, kriiiiiiing..kriiiiiing...
 Kakakku mengangkat telpon, setelah menutup telpon kakakku berkata dengan nada pelan “itu telpon dari pihak yang berwajib bahwa orang yang bernama Hendra Agus Setiawan dan Tiara Angun termasuk korban yang meninggal”. Tak lama berselang, mobil ambulans yang mengantarkan mayat Papah dan Mamahku berada di depan rumah.

Deg... jantungku seakan berhenti berdetak, itu Mamah dan Papahku, “ya Allah... apa yang terjadi, inikah awal cobaan dari-Mu?”. Air mataku menetes begitu deras melihat Papah dan Mamahku terbujur kaku tak bergeming. 

Kakakku  hanya terdiam di sudut rumah. ku rangkul ia melihat Papah dan Mamahku untuk terakhir kalinya, sebelum di salatkan dan di kuburkan, tapi tak ada respon yang terlihat dari wajahnya, ia  hanya terdiam dengan pandangan kosong. 

Sesudah dari pemakaman, ada seorang laki-laki yang tak asing bagiku menghampiri ku, “kakak turut berduka, semoga beliau diampuni dosa-dosanya, maaf jika kakak lancang. Kakak ingin memberikan undangan ini”. Setelah memberikan undangan itu, ia pergi.

 Sampai di rumah ku buka undangan itu ternyata undangan pernikahan “Aprilio Angung & Ully Septiani”. Pacar kakakku menikah dengan orang lain, “ya Allah cobaan apa lagi ini?” kataku dalam hati, tapi aku harus tegar setegar nama ku.

 Kakakku tak sengaja ikut membacanya,  tapi ia hanya diam dan lekas pergi ke kamar. Aku mengikutinya dan kulihat ia duduk di sudut kamarnya, hanya terdiam dengan pandangan kosong.
***
            Empat puluh delapan bulan sudah berlalu, kini hanya kami berdua yang tinggal di rumah, pembantu rumah kami sudah lama tidak bekerja lagi. Semenjak dua kejadian itu kakakku tak seperti ketika orangtuaku masih hidup yang selalu ceria, suka menggambar, cerewet, periang dan suka memasak, tapi kini ia hanya terdiam di sudut kamarnya dengan tatapan kosong, berbicara entah apa yang ia bicarakan dan sering kali menjerit tanpa sebab, terkadang jika kambuh penyakitnya barang yang ada didekatnya ia lempar tanpa alasan yang logis dan ia tak mengenal ku lagi.

Dalam empat tahun, sempat tiga bulan kakakku menghilang meninggalkan rumah. Menggelandang tanpa arah dan tujuan, tapi berkat bantuan pihak yang berwajib, aku menemukan kakakku, walau pakaian yang ia kenakan usang dan wajahnya kusam, tapi ku bersyukur aku bisa bertemu dengan kakakku lagi.

Aku berusaha untuk menyembuhkan penyakit yang dialami kakakku, aku pergi ke paranormal, mencoba terapi, mencoba obat-obat tradisional tapi tak ada hasilnya. Sempat ku pasrah untuk menghentikan pengobatan kakakku, tapi aku teringat kembali pesan Mamah kepadaku dua minggu sebelum beliau meninggal. 

“Tegar, jaga kakakmu baik-baik dan jadilah anak laki-laki yang selalu tegar menghadapi segala halang rintang dalam hidup ini, seperti namamu Tegar”. Dengan nada lembutnya. 

Setelah ku ingat pesan Mamah, semangatku mulai muncul kembali untuk menyembuhkan kakakku tercinta dari penyakitnya dan dengan keyakinanku “setiap penyakit pasti ada obatnya” dalam hati ku berkata, “SEMANGAT!!!”.
***
Keesokak harinya telpon berdering dan suara yang menelpon itu tanteku, beliau menyarankan untuk membawa kakakku ke temannya yang ahli kejiwaan atau yang biasa disebut Psikolog. Setelah tanteku memberikan alamatnya, segera ku bawa kakakku pergi kesana.

Beberapa jam telah berlalu, aku disuruh masuk keruangannya dan beliau menerangkan, bahwa kakakku mengalami penyakit Skizofrenia. 

Apa dok? Skizofrenia, penyakit apa itu? Kataku dengan nada kaget.

             Beliau menjelaskan bawah penyakit Skizofrenia itu semacam ganguan kejiwaan/ penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel kimia dalam otak, itu adalah gangguan jiwa psikotik (gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, atau perilaku kacau/aneh).

“oh, jiwa kakakku terganggu”. Terpaku ku mendengar penjelasan itu. 

Kamu tidak usah khawatir, penyakit ini bisa disembuhkan asalkan ada dukungan dari pihak keluarga untuk menjalankan terapi dan obat-obatan yang teratur. Suara itu menghilangkan lamunanku.

Aku mulai rajin membawa kakakku pergi terapi, dan menyuruhnya minum obat yang telah disarankan dokter, walau ku harus mulai bekerja keras untuk membiayai semua keperluan penyembuhan kakakku. Aku senang menemani kakakku kemana saja untuk melukis selama berjam-jam agar kakakku dapat mengekspresikan perasaannya lewat lukisan-lukisannya.
***
Delapan belas bulan mengikuti terapi, terlihat kesembuhan yang kakakku alami, ia kini bisa mengontrol perasaannya walaupun masih mengonsumsi obat dari dokter, ia tak lagi berdiam diri di sudut kamar, tak lagi menjerit, melempar benda tanpa alasan dan ia mampu menghasilkan karya-karya, seperti lukis yang di jual disebuah pameran lukisan dengan harga mahal, walau ia belum mengenalku, tapi batin ku berkata “suatu saat kakakku pasti mengenalku, memanggil nama ku dan memelukku”. 

Siang hari yang membuatku kagum ketika aku hendak menjemput kakakku dari tempat terapi. Aku hendak memasuki halaman rumah sakit. Terdengar suara, “Tegaaaaaaaar... adikku”. Setengah berlari dan memeluk tubuhku erat ia menagis, “ adikku Tegar”.

“ kak tia..”, aku pun ikut menagis dalam pelukkannya.
“Terima kasih ya Allah... usahaku tak sia-sia, Engkau telah sembuhkan kakakku. Kini kakakku sudah sembuh total dan mampu menerima semua kenyataan pahit yang kami alami, ucapku dalam dekapan hangatnya.


                                                                                                   Cerpen By: Nurfitria Harnia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar