Analisis Psikologis Tokoh Isa dan
Hazil dalam Novel
Jalan Tak Ada Ujung, Karya Mochtar Lubis
Makalah
Disajikan untuk
memenuhi Mata Kuliah Kajian
Prosa
Disusun
Oleh
Kelompok 5
Nurfitria
Harnia 1110013000087
Nurul
Aliyah 1110013000115
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sastrawan tidak sekedar menghibur para
pembaca melalui karyanya, tetapi dapat menyajikan berbagai ragam kehidupan yang
penting untuk direnungkan kemudian dipahami bersama-sama. Seorang sastrawan
dapat menggambarkan sebuah kejadian yang dialaminya dengan baik, dapat membuat pembaca
turut merasakan kejadian yang diceritakan.
Banyak sastrawan-sastrawan Indonesia
pada novelnya mengisahkan tentang ragam kehidupan manusia. Mochtar Lubis, sastrawan
angkatan 1945, sering dikenal dengan sebutan angkatan’45. Dalam beberapa
novelnya menceritakan tentang masa-masa ketika revolusi, selain menjadi sastrawan
Mochtar Lubis juga seorang wartawan, pelukis, dan orang yang mengeluti
kebudayaan. Sebagai sastrawan, Mochtar Lubis memiliki kepekaan batin terhadap gejala-gejala
yang muncul disekitarnya. Baik berupa gejala kemasyarakatannya. Maupun yang
lebih mendasar lagi, yakni gejala kemanusiaan.
Kegelisahan, kegembiraan, kesediahan,
dan ketakutan yang tidak pernah lepas dari eksistensi hidup manusia, merupakan
persoalan yang cukup menarik. Sebagai wartawan Mochtar Lubis, pria kelahirkan Padang,
Sumatera Barat pada tanggal 7 Maret 1922. Ayahnya, Raja Pandapotan Lubis,
adalah bangsawan Mandailing yang menjabat sebagai asisten demang di kota
kelahiran Mochtar Lubis antara tahun 1915 hingga 1929. Mochtar Lubis pernah
menjabat sebagai pemimpin redaksi Indonesia
Raya. Mochtar Lubis oleh Federasi Internasional Serikat Penerbit Surat
Kabar – FIEJ— yang bermarkas besar di Paris pernah mendapat penghargaan Pena
Emas, “La Plume d’Or”. Penghargaan
yang di anugerahkan untuk wartawan yang gigih dan berani memperjuangkan
kebebasan pers sampai menderita. Selain mendapat penghargaan atas perjuangannya
ketika menjadi wartawan, Mochatar Lubis pernah pula mendapat peghargaan atas
novel-novel yang dibuatnya, salah satunya novel Jalan Tak Ada Ujung.
Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terbit pertama pada tahun
1952, dan tahun 1977 diterbitkan sebagai cetakan keempat. Mendapat hadiah sastra
nasional sebagai roman terbaik tahun 1952 dari Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional.
Novel Jalan Tak Ada Ujung menceritakan masa-masa revolusi. Masa yang
tidak memungkinkan terciptanya kedamaian, dan ketentraman, sehingga jiwa tidak
akan mungkin tentram dan nyaman. Merasakan ketakutan. Masa yang dengan mudah
seseorang meninggal begitu saja tanpa sebab yang pasti. Masyarakat tidak
bersalah menjadi sasaran peperangan pada saat itu. Demikian misalnya yang
dialami oleh tokoh novel Mochtar Lubis Jalan
Tak Ada Ujung ini. Guru Isa yang sejak masa Jepang terus menerus, hingga
masa revolusi rasa takutnya kian memuncak.
Novel
Jalan Tak Ada Ujung memilliki
aspek yang menggarap dunia kejiwaan dengan konflik psikologisnya. Konflik
psikologis, unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh dalam cerita. Aspek yang dipakai
Mochtar Lubis sangat sinkron dengan tokoh-tokohnya dalam gerak gerik, tingkah
laku, dan emosi menggabarkan manusia seutuhnya.
B.
Rumusan
Masalah
Hal
yang menjadi rumusan masalah dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung di antaranya:
1. Bagaimana
analisis unsur intrinsik dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung?
2. Bagaimana
bentuk psikologis yang ditunjukkan oleh tokoh Guru Isa dan Hazil dalam novel Jalan
Tak Ada Ujung melalui pendekatan objektif?
C.
Tujuan
1. Mengetahui
unsur intrinsik dalam novel Jalan Tak Ada
Ujung
2.
Mengetahui psikologis tokoh Guru
Isa dan Hazil dalam novel Jalan Tak Ada
Ujung
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis pernah mendapat hadiah dari
Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional. Novel ini pernah dikaji oleh Dra. Darni, M. Hum dari hasil
analisisnya, novel Mochtar Lubis JTAU banyak diwarnai oleh konsep
Eksistensialisme Sartre. Eksistesialisme, aliran filsafat yang pahamnya
berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab ats kemauannya yang
bebastanpa mengetahui yang mana yang benar dan mana yang tidak benar. Ketakutan
merupakan gagasan yang paling menonjol. Ketakutan ada sejak manusia terlempar
dari eksistensinya. Ketakutan dimiliki oleh semua orang. Manusia harus dapat
hidup dan damai dengan ketakutannya masing-masing. GI, setelah mengalami
perjalanan yang panjang akhirnya dapat menguasai dan damai dengan ketakutannya.
Sebaliknya, Hazil yang semula bersemangat dan berani akhirnya dihancurkan oleh
ketakutan yang tidak dapat dikuasainya.[1]
Selain
Analisis dari Dra. Darni, M. Hum, Umar Junus menulis bahwa Jalan Tak Ada Ujung tidak menyoroti tentara, tetapi sipil yang
takut dan enggan diajak-ajak terperangkap dalam memperjuangkan batin yang
kurang penting bagi revolusi nasional di sekelilingnya. Dalam Jalan Tak Ada Ujung, gambaran Revolusi
berubah dari gambaran peristiwa historis yang spesifik menjadi “revolusi”
sebagai semacam perjalanan manusia “universal”, melampaui hal-hal duniawi,
suatu “jalan tak ada ujung” menuju ke pembebasan psikologis, suatu kebebasan
metafisis ketimbang kebebasan nasional.[2]
BAB
III
BIOGRAFI
PENGARANG, LATAR BELAKANG LAHIRNYA KARYA,
DAN
SINOPSIS NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG
A. Biografi Pengarang
Mochtar
Lubis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 7 Maret 1922. Ayahnya,
Raja Pandapotan Lubis, adalah bangsawan Mandiling yang menjabat sebagai asisten
demang di kota kelahiran Mochtar Lubis antara tahun 1915 hingga 1929. Gelar
“raja” di depan nama ayahnya menunjukkan bahwa ia seorang kepala suku. Ia
berasal dari desa Muara Soro, dekat Kotanopan, Kabupaten Tapanuli Selatan, sekitar
180 kilometer di Selatan Padangsidempuan.
Ibunya,
Siti Madinah Nasution, juga keturunan bangsawan Mandailing. Ia adalah anak
kepala kuria, atu induk kampung di daerah Batak, bergelar Mangaraja Sorik
Merapi adalah nama pengunugan dekat kampng halaman mereka. Ibu mochhtar Lubis
meninggal di medan pada 22 Mei 1986 dalam usia 90-an tahun, sedangkan ayahnya
sudah lama mendahuluinya pada tahun 1953.[3]
Mochtar
Lubis terkenal sebagai wartawan, pemimpin redaksi kemudian menjadi pemimpin
umum harian “Indonesia Raya”. Dalam dunia kesusastraan terutama dikenal karena
romannya “Jalan Tak Ada Ujung” yang melukiskan manusia yang selalu ragu-ragu
dalam revolusi yang lalu. Untuk buku itu, ia mendapat hadiah dari Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional dan buku itu dianggap sebagai roman yang paling
baik pada tahun 1952.
Sesudah
aksi militer pertama bersama-sama dengan beberapa kawannya, ia mendirikan
harian “Masa Indonesia” kemudian ia menjadi wartawan “Merdeka”, pemimpin
redaksi majalah “Mutiara”, penerbit mingguan “Masa”, dan direktur kantor berita
“Antara”. Ia banyak menterjemahkan kesusastraan asing kepada masyarakat
Indonesia : “Tiga Cerita Negeri Dolar” Balai Pustaka 1950, “Kisah-kisah dari
Eropa” Balai Pustaka 1952, “Tujuh Puluh Ribu Orang Assiria” dan berbagai cerpen
Amerika lainnya dalam Seri Kisah Amerika yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Bersama-sama dengan Beb Vuyk dan S. Mundingsari menerbitkan “Cerita-cerita dari
Tiongkok”, PT Pembangunan 1953. Buku-bukunya yang lain: “Teknik Mengarang”
Balai Pustaka 1954, “Teknik Mengarang Skenario Film” Balai Pustaka 1952, “Pers
dan Wartawan” Balai Pustaka 1949), dsb. Karena keberaniannya mengkritik
pemerintah, ia sejak 1956 untuk waktu yang tak ditentukan ditahan, mula-mula
dalam sel, kemudian sebagai tahanan rumah.[4]
Mochtar
Lubis lahir Padang 7 Maret 1922, ia beragama islam dan meninggal di Jakarta 2
Juli 2004. Ia memiliki isteri bernama Halimah, meninggal 27 Agustus 2001. Ia
mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat di Sungai Penuh, HIS di Sungai Penuh, dan
Sekolah Ekonomi di Kayu.
Karier
Mochtar Lubis pada tahun 1945-1952 sebagai Redaktur Luar Negeri Kantor Berita
Antara, Redaktur Luar Negeri LKBN
Antara, Pemimpin Redaksi Harian Umum Indonesia Raya, Menerbitkan Indonesia Raya
Versi Inggris dengan nama Time of Indonesia. Tahun 1947-1949 ia menjadi pemimpin
Redaksi Majalah Mingguan Mutiara, dan pada 1966 ia Mendirikan Majalah Mingguan
Sastra dan Budaya Horison.
Organisasi
yang pernah ia ikuti, sebagai anggota International Science Writers
Association, anggota Pen Club, direktur
Jenderal Press Foundation of Asia di Manila, ketua Dewan Redaksi Majalah
Solidarity di Manila, pemimpin Redaksi Majalah Impact di Manila, Associate
Editor South East Asia of World Paper (Boston, USA), wakil ketua Yayasan
Pembinaan Pers Indonesia, wakil ketua dan anggota Seumur Hidup Akademi Jakarta,
direktur Yayasan Obor Indonesia, anggota Yayasan Indonesia Hijau, anggota
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, penulis Tajuk Majalah Suara Alam
(Jakarta), anggota The SeanMcBride UNESCO Komisi Masalah-masalah Komunikasi dan
Informasi.
Penghargaan-penghargaan
yang pernah diterima oleh Mochtar Lubis pada tahun 1958 penghargaan Ramon
Magsaysay untuk Kategori Jurnalistik dan Sastra, pada tahun 1978 Pena Emas
Bidang Jurnalistik dari International Association of Publisher and Editors,
pada tahun 1956 penghargaan dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional untuk
Bidang Sastra, pada tahun 1953 penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia
untuk peliputan perang di Korea.
Karya-karya
Mochatar Lubis, diantaranya: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada
Ujung, Berkelana Dalam Rimba, Bromocorah, Maut dan Cinta, Citra Polisi,
Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis, Tanah Gersang, Tak Ada Esok, Wartawan Asia, Budaya
Masyarakat dan Manusia, Catatan Subversif, Ecologi Reader, Mafia dan Korupsi
Birokrasi, Kuli Kontrak, Catatan Korea, Manusia Indonesia, Perempuan.[5]
B. Latar Belakang Lahirnya Karya
Mochtar
Lubis seorang sastrawan 1945 atau sering disebut angkatan’45. Pengalaman hidup
dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan angkatan ini.
Karya satra ini lebih realistik dibandingkan karya Angkatan Pujangga Baru yang
romantik-idealistik.[6]
Beberapa
karya fiksi Mochtar Lubis, khususnya dalam dekade tahun tujuh puluhan, banyak
memberikan sumbangan kepada kita. Sumbangan yang dimaksud di sini tidak lepas
dari moralitas manusia dalam kaitannya sebagai suatu bangsa (nation) yang penuh
cita-cita. Mochtar Lubis mengangkat persoalan moralitas dalam karya-karyanya
sebagai usaha menumbuhkan jiwa yang
berbudaya bagi setiap manusia dalam pelaksanaan kehidupannya.
Pada
umumnya karya-karya Mochtar Lubis mampu bercerita secara wajar tentang manusia
dalam perang. Manusia dan kebangsaan. Hal itu tidak mengherankan sebab Mochtar
Lubis sendiri pernah terlibat dalam peristiwa-peristiwa revolusi. Suatu
peristiwa yang cukup dasyat dalam pengalaman hidup manusia. Pengalaman-pengalaman
itu mempengaruhi jiwa Mochtar Lubis sehingga tidak sedikit roman atau cerita
pendeknya yang cenderung menonjokan aspirasi dan ide-ide si pengarang itu
sendiri. Untuk cerita-cerita ide seperti itu, maka tepatlah apabila Mochtar
Lubis menerapkan sistem penggarapan yang konvensional.[7]
C. Sinopsis
Novel
Jalan Tak Ada Ujung menceritakan
seorang guru bernama Isa berumur tiga puluh lima tahun yang ketakutan pada masa-masa
revolusi, tidak suka dengan kekerasan, dan karena Isa seorang
guru ia sangat dihormati oleh tetangga-tetangganya. Ia sering disapa Guru
Besar, akan tetapi statusnya tidak memihak kepadanya, keadaan ekonomi
keluarganya sangat kekurangan. Ia memiliki isteri bernama Fatimah. Fatimah
harus kesana-kemari meminjam uang hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari.
Selain itu, Guru Isa pun harus menerima ketika ia tidak bisa memberikan
kepuasan secara batin kepada istrinya untuk selamanya. Sehingga keharmonisan
keluarganya semakin lama semakin berkurang. Oleh sebab itu, isterinya
memutuskan untuk mengambil anak pungut yaitu seorang anak laki-laki kecil.
Salim. Ia berumur empat tahun.
Kehidupan
Guru Isa selalu diwarnai rasa takut. Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa itu
memecahkan kesunyian pagi, ia sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah
Abang. Ia sangat ketakutan ketika itu, ia memikirkan tentang keselamatan anak
dan isterinya.
Isa diajak
oleh anak didiknya. Hazil. Ia seorang pemuda pemberani, bersemangat, sangat
pintar bermain biola dan juga seorang komponis. Untuk bergabung dengan sebuah
organisasi perjuangan pemberontakan, Guru Isa sebenarnya tidak mau tetapi ia
takut dibilang pengecut dan mata-mata. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa
ia menuruti apa kata temannya itu. Mereka kemudian bertugas untuk mengambil
senjata dan bom tangan yang disimpan di daerah Asam Reges, setelah itu akan
disimpan di Manggarai, kemudian di selundupkan ke Kerawang. Dalam misinya ini
Isa bertemu dengan Rakhmat. Penyelundupan itu berjalan dengan mulus, meskipun
menyisakan ketakutan pada guru Isa karena baru pertama kalinya ia ikut berjuang
dalam kemerdekaan.
Setelah
menikah selama enam bulan Isa tidak dapat memberikan kepuasan secara batin
kepada isterinya. Fatimah sebenarnya istri yang baik.
Ia tetap setia meski Isa menderita impotensi sejak awal pernikahan
mereka, sampai ia bertemu Hazil yang membawa bara hangat ke dalam kehidupan
asmaranya yang nyaris beku. Kesetiaan itu pun runtuh, kemudian
berselingkuh dengan teman Guru Isa sendiri, Hazil. Isa
mengetahuinya, tetapi ia takut menghadapi kenyataan itu.
Serdadu
Inggris kemudian meninggalkan Indonesia setelah adanya perjanjian Linggar Jati.
Akan tetapi, kondisi tersebut bukanlah sesuatu yang mengenakan. Beberapa saat
setelah kepergian serdadu Inggris, serdadu Belanda kemudian datang kembalike
Indonesia. Puncak pemberontakan mereka terjadi ketika guru Isa, Hazil, dan
Rakhmat, merencanakan untuk menyerang serdadu Belanda disebuah bioskop. Rex.
Mereka melemparkan bom tangan di depan pintu masuk bioskop tersebut.
Setelah
tidak ada kabar antara Hazil, Rakhmat, dan Isa. Hazil kemudian dapat ditangkap
oleh polisi militer, ia mengakui apa yang telah ia perbuat dan menyebutkan
siapa saja yang terlibat dalam kasus itu. Tak lama kemudian guru Isa menyusul.
Ditangkap polisi. Mereka berdua disiksa. Karena mereka tetap tidak mau mengaku
di mana Rakhmat bersembunyi. Akhirnya, Isa menemukan sifat
kelakian-lakiannya dan arti hidupnya sesungguhnya, dan sebaliknya Hazil
yang bersemangat dan pemberani menjadi penakut akan siksaan-siksaan yang ia
dapat dari tentara Belanda.
BAB IV
Analisis Novel Jalan
Tak Ada Ujung
A. Unsur Intrinsik karya
1. Tema
: Ketakutan seorang sipil (guru) masa revolusi
Novel
ini sering menceritakan masa revolusi, masa yang membuat orang-orang merasakan
ketakutan yang amat dalam, terutama yang digambarkan pada tokoh utama Guru Isa.
Ketakutan yang membuatnya mengalami ganguan psikologis.
“Dia
telah pergi ke dokter. Dan dokter mengatakan, bahwa impotennya adalah semacam psychischenya sendiri. Yang dapat
mengobatinya hanya jiwanya sendiri. Atau sesuatu di luar yang dapat melepaskan
tekanan jiwanya yang merasa tidak kuasa”. (JTAU, 2010: 29).
2. Tokoh
dan Penokohan
Guru Isa,
sebagai seorang guru, dan suami dari Fatimah yang mengalami impoten tidak bisa
memenuhi kebutuhan biologis istrinya karena ketakutan berlebihan yang ada dalam
dirinya. Seorang laki-laki lemah, tidak suka kekerasan, tidak berani untuk
mengatakan isi hatinya dan pernah bersekolah HIK Bandung.
“Dalam
hatinya yang sederhana dan penyayang pada semua orang tidak bisa masuk
kemungkinan manusia berbuat demikian. Darah orang luka yang menyembur membasahi
baju merah dan pekat, menyakitkan hatinya. Dan menakutkan hatinya juga.
Orang-orang yang berdiri di luar rumah mereka bertanya apa yang terjadi, tapi
Isa tidak jawab. Ia terlalu dalam jatuh dalam kekacauan pikirannya sendiri”.
(JTAU, 2010: 17).
Hazil,
Seorang aktivis muda pemberani dan bersemangat dalam memperjuangkan
kemerdekaan. Seorang organisator perlawanan, memiliki sifat optimis, dan anak
muda yang pandai bermain musik, sekaligus komponis.
“Dalam perjuangan kemerdekaan ini,
tidak ada tempat pikiran kacau dan ragu-ragu,” kata Hazil. “Saya tidak pernah
ragu, dari mulai. Saya sudah tahu-semenjak mula-bahwa jalan yang kutempuh ini
adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan ada habis-habisnya kita tempuh. Mulai
dari sini sini, terus, terus, terus tidak ada ujungnya….” (JTAU, 2010: 49).
Fatimah, istri Guru
Isa seorang istri yang penuntut, dan acuh kepada suaminya semenjak mengetahui
Guru Isa tidak bisa memberikan kepuasan batin terhadapnya.
Seorang yang sayang sekali pada setia pada suaminya, walau akhirnya Fatimah
berselingkuh dengan Hazil.
“Beras
telah habis lagi. Jangan lupa minta persekot, “Fatimah berseru kepadanya ketika
Guru Isa turun tangga hendak ke sekolah”. (JTAU, 2010:104).
“Ketika
istrinya memutuskan untuk mengambil anak pungut setahun yang lalu, maka hampir
terjadi percekcokan yang besar antara mereka. Dia mula-mula keberatan, karena
memikirkan tambahan belanja dan beban rumah tangga mereka. Hingga keluar dari
perkataan istrinya, “dari engkau aku tidak bisa dapat anak....”. (JTAU, 2010:
30).
Ada pula
tokoh-tokoh selain tokoh yang dijelaskan di atas, yaitu:
1.
Rakhmat (teman Hazil)
2.
Mr. Kamaruddin (ayah Hazil)
3.
Pak Damrah (pemilik warung)
4.
Pak Hamidy (tetangga Guru Isa)
5.
Salim (anak pungut Guru Isa)
6.
Saleh (teman Guru Isa)
3.
Latar
a.
Tempat
Tanah Abang,
arah yang dituju oleh Guru Isa pergi mengajar ke sekolah. Adanya pasar. Trem di
Jalan Asam Lama dekat Pasar tanah abang. Jalan Asam Lama tempat yang sering terjadi
pengeledahan oleh serdadu hindia.
“Saleh terus
pulang naik sepeda, ia berjalan kaki ketempat trem di jalan asam lama dekat
Pasar Tanah Abang” (JTAU, 2010: 34).
Di sekolah, Ketika
lonceng dinding tembok yang telah tua dan penuh debu memukul sebelas kali.
Sekolah itu sepi guru-guru lain sudah pulang.
“Baru ketika
orang yang baru tiba itu menjentik bahunya, guru Isa tahu bahwa ada orang lain
dalam kelas”. (JTAU, 2010: 31).
Karawang,
merupakan tempat penyelundupan senjata, dan markas Laskar Rakyat.
“Ini bisa
berbahaya,” kata Hazil, kita pergi mengambil senjata dan membawanya ke
Manggarai di sana kita sembunyikan dan kemudian diselundupkan ke Karawang.
Engkau masih berani?”. (JTAU, 2010: 78).
Di bioskop
Rex, tempat yang menjadi sasaran pengemboman oleh Hazil, Rakhmat, dan Isa.
“Rakhmat
menggoncangkan kepala. “Sekarang”, kata Hazil dan Rakhmat dan Guru Isa terbagun
dari pikiran mereka. Para penonton bioskop telah mulai keluar. (JTAU, 2010:
134).
b. Latar waktu
Bulan
September 1946. Pagi. pasca kemerdekaan, tiga orang kanak-kanak kecil sedang
bermain-main layang-layang,
“Salah, salah angin dari sana. Kamu
tukar tempat,”teriaknya. (JTAU, 2010:2).
November,
pertemuan Guru Isa dan Hazil,
“Gesekan
biolamu, meskipun belum lancar dan mahir, mengandung tenaga,” kata Guru Isa
kepada Hazil memuji.
Ya, aku tahu, “kata Hazil,” kesempatan
berlatih amat sedikit”. (JTAU, 2010:2).
Tiga
menit dan seperempat jam, peristiwa yang menunjukkan latar waktu ketika
serdadu-serdadu NICA datang,
“Tiga
menit kemudian truk itu masih menembak-nembak juga kiri dan ke kanan, sambil
berteriak-teriak memaki-maki, Mampus lu, anjing Sokarno.!” Mau merdeka? Ini
merdeka!”. (JTAU, 2010:6).
“Setelah
seperempat jam kemudian tidak ada truk-truk memuat serdadu-serdadu NICA yang
lewat kembali, maka pemuda-pemuda yang mengawal dengan bambu runcing
dibalik-balik pagar ... (JTAU, 2010:7).
Waktu
menunjukkan malam di kamar Guru Isa,
”Malam
itu ketika hendak masuk tidur, mereka tekejut karena bunyi teriak siap-siap!”. (JTAU,
hlm. 34).
Pagi-pagi
di Jalan Asam Lama,
“Baba
Tan berdiri di depan warungnya berseru, “Selamat pagi, Tuan Guru.” Setiap pagi
dia lewat selamanya orang yang berdua ini yang menegurnya demikian. (JTAU,
2010: 67)
4.
Sudut Pandang
Novel Jalan Tak Ada Ujung mengunakan Dia-an,
orang ketiga serba tahu. Mochtar Lubis menyampaikan atau memberikan gambaran
dalam novelnya melalui Guru Isa. Dalam melukiskan pelaku Guru Isa ini, pada
masa revolusi sedang berkecambuk di Jakarta tidak luput dari segala konsekuensianya.
Perbandingan atau antara dua manusia kita dapati dalm buku ini. Guru isa
dan temannya “Hazil” yang dikenalnya
dalam masa revolusi adalah seorang anak Mr. Komaruddin. Seorang yang masih
kolonial akan tetapi Mr. Komaruddin takluk juga pada kemauan anaknya Hazil.
5.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa
dalam novel Jalan Tak ada Ujung mudah
dipahami, dan tidak menggunakan Bahasa Melayu. Bahasa yang digunakan majas repetisi (penegasan, perulangan kata).
“Patroli
yang membelok ke kanan, terus, kekiri, ke kanan, terus, dan terus, terus di
jalan-jalan yang sunyi, kosong dan sepi”. (JTAU, 2010:7).
“Kamaruddin
amat rindu pada Hazil. Rindunya bercamur rasa penyesalan karena ketika Hazil hendak berangkat –dia datang
meminta uang untuk belanja— tetapi Kamaruddin membentak anaknya ...” (JTAU,
2010:50).
6. Alur
Alur yang digunakan dalm novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
mengunakan alur maju.
Awal:
perkenalan para tokoh-tokoh yang ada dalam novel. Pertemuan Guru Isa dengan
Hazil yang menjadikannya teman akrabnya.
Konflik:
awal konflik dimulai dari ketika Guru Isa diberi kpercayaan oleh Hazil temanya
sebagai kurir pengantar senjata, dan di percaya sebagai pemengang dana keuangan
organisasi rahasia. Ketakutan yang menjadikan Guru Isa tidak dapat memenuhi
kebutuhan biologis istirnya menjadi konflik dalam pernikahannya.
Klimaks:
pusat konflik yang terjadi, ketika Guru Isa diajak oleh Hazil dan Rakhmat untuk
melakukan pengeboman di bioaskop Rex, karena disana banyak serdadu Belanda.
Pusat konflik yang kedua ketika Fatimah istri Guru Isa selingkuh dengan temannya
sendiri “Hazil”.
Anti-klimaks:
dalam novel ini anti-klimaks yaitu ketika penangkapan Guru Isa terkait dengan
pengeboman yang terjadi pada bioskop Rex. Bersama Hazil ia dipenjara dan
disiksa oleh polisi militer. Kemudian, ketika Guru Isa telah mengetahui bahwa
sahabatnya itu (Hazil) berselingkuh dengan istrinya. Ia enggan mengatakannya
pada Hazil. Hal tersebut lebih ditutupi oleh Guru Isa, karena ia takut untuk
mengatakannya.
Akhir/penyelesaian:
setelah mendapat penyiksaan dari tentara Belanda, dan penyiksaan itu membuatnya
kebal, pada akhirnya Guru
Isa sadar dan ia bisa berdamai dengan rasa takutnya yang berlebihan.
Awal
Perkenalan
tokoh-tokoh
Perkenalan
Guru Isa dengan Hazil
|
Klimaks
Pengeboman
bioskop Rex.
Istri
Guru Isa “Fatimah” selingkuh dengan temannya “Hazil”.
|
Akhir
Guru
Isa sadar, dan berbahagia kelaki-lakiannya telah kembali.
|
Anti Klimaks
Penangkapan
guru Isa dan Hazil.
Guru
Isa mengetahui Istrinya selingkuh.
|
Konflik
Guru
isa masuk organisasi rahasia, dipercaya
menjadi kurir dan diangkat
sebagai pemegang dana keuangan.
Guru
Isa tidak dapat memberikan kebutuhan biologis istrinya.
|
7.
Amanat
a.
Jangan merasa takut untuk menyampaikan suatu berita
atau hal, jika itu benar.
b.
Manusia harus menghilangkan rasa takut yang berlebihan
dalam dirinya, lawan rasa takut dengan keberanian.
c.
Perjuanngan tidak akan pernah berakhir. Ketika
terlepas dari penjajahan, kita masih harus berjuang dengan ego masing-masing.
B. Psikologis Tokoh Isa dan Hazil dalam novel Jalan Tak ada Ujung
Psikologi
sastra memberikan perhatian pada masalah yang berkaitan dengan unsur-unsur
kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam sastra. Aspek-aspek
kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra sebab
semata-mata dalam diri manusia itulah aspek kejiwaan dicangkokkan dan
diinvestasikan. Penelitian psikologi sastra dilakukan melalui dua cara.
Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis
terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori
psikologi yang dianggap relefan untuk melakukan analisis.[8]
Menganalisis
Novel Jalan Tak Ada Ujung tentang ketakutan
tokoh dalam cerita pada masa masa revolusi. Ketakutan manusia terhadap perang,
takut ditangkap, takut ditembak, takut akan hartanya hilang, takut akan
keonaran dan berbagai bentuk ketakutan dalam hidup manusia ini. Ini berlangsung
sejak lama sepanjang dalam hidup umat manusia. Ketakutan yang paling dekat
ialah ketakutan pada diri sendiri, ketakutan-ketakutan yang datang dari jiwa
manusia itu. Manusia harus dapat mengatasi segala ketakutan yang mengitari
dirinya. Ketakutan yang tumbuh di dalam dirinya sebagai musuh yang besar harus
ditaklukkannya hingga kesadaran timbul untuk mengatasi dan menyadari ketakutan
itu. Dengan demikian barulah ia mencapai kemenangan dalam perjuangan itu.
Melihat pada tokoh-tokoh yang ada dalam novel Jalan Tak Ada Ujung, yang mengalami ketakutan masa-masa revolusi.
1. Aspek psikologis Guru Isa dalam novel Jalan Tak Ada Ujung
Seorang guru
yang takut dengan perasaannya sendiri,
“Ketika tembakan pertama di Gang
Jaksa itu memecah kesunyian pagi, Guru Isa sedang berjalan kaki menuju
sekolahnya di Tanah Abang. Selintas masuk ke dalam pikirannya rasa was-was
tentang keselamatan istri dan anaknya. Ah, Fatimah akan hati-hati, pikirnya
kemudian, telah aku suruh dia jangan keluar-keluar rumah.” (JTAU, 2010:8).
Berdasarkan kutipan di atas terlihat
tokoh Guru Isa selalu merasa khawatir dan merasa tidak tenang atas kesalamatan
istri dan anaknya yang selalu terpikirkan saat Guru Isa berangkat bekerja.
Seharusnya hal ini tidak terjadi pada saat dia sedang tidak ada di rumah.
Guru Isa
takut pada serdadu-serdadu India di Jalan,
“Isa tidak bisa melukiskan
perasaannya, ketika dia berpaling kembali, dan melihat serdadu-serdadu India
melompat ke jalan dari truk. Perasaannya kosong. Terutama perutnya. Dan dadanya
sedikit terasa sesak. Sekarang bukan karena berlari keras, tetapi karena
menahan perasaan hatinya.” (JTAU, 2010:10).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa selalu merasa ketakutan kalau melihat serdadu-serdadu India yang ada di
jalan, ia berpikir sewaktu-waktu bisa mencelakai dirinya. Ketakutan Guru Isa
yang berlebihan ini justru membuat dia merasa tersiksa, padahal serdadu-serdadu
itu hanya berjalan dan tidak akan mencelakainya.
Guru Isa
takut kekerasan terjadi pada dirinya,
“Kalau aku yang kena, bagaimana
dengan istri dan anakku, pikir Guru Isa. Dalam hatinya timbul rasa tidak enak
ketika membayangkan dirinya terbaring di tanah berlumaran darah,
mengerang-ngerang kesakitan. Pemandangan demikian melukai hatinya yang lembut.
Terasa sebagai perkosaan pada kehormatan manusia baginya.” (JTAU, 2010:13).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa selalu berpikir dan membayangkan dirinya mengalami kejadian yang belum
tentu terjadi pada dirinya. Hal inilah yang dapat menyebabkan perasaan Guru Isa
yang selalu diliputi rasa takut dan selalu membayangkan hal-hal yang seharusnya
tidak perlu ditakutkan dan dipikirkan.
Guru Isa
pengecut, tidak bisa mengakui ketakutannya,
“Baru hari itu dia bertemu muka
dengan segi-segi keras dan tajam dari revolusi. Penumpahan darah. Darah
manusia. Guru Isa akan merasa terluka hatinya, jika dikatakan padanya, bahwa
perasaan yang dirasanya sekarang adalah rasa takut. Tetapi pada dirinya sendiri
dia tidak mengakui, bahwa dia takut.” (JTAU, 2010:28).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru Isa tidak mengakui
bahwa dirinya sebenarnya memiliki rasa takut. Ketakutan Guru Isa tidaklah wajar
karena hanya melihat darah saja pikirannya diliputi dengan rasa takut yang
sangat mengganggu kesehariannya.
Guru Isa
takut pada dirinya sendiri,
“Guru Isa teringat malam
perkawinannya. Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Tapi tidak lama. Kemudian
mukanya menjadi agak suram. Dia ingat enam bulan setelah mereka kawin.
Pertama-tama kali dia tidak kuasa meladeni istrinya. Telah lama terasa padanya
tenaganya sebagai laki-laki berkurang. Seperti air dalam kaleng yang tiris
perlahan-lahan habis, hingga akhirnya kering. Dan esok malamnya. Kembali dia
tak sanggup. Wajah istrinya yang seakan mengumpat! Malam yang lain demikian
pula. Hingga akhirnya jiwanya terpengaruh. Hingga sekarang. Dan istrinya
menjadi dingin terhadap dia. Tetapi mereka menjaga perkawinan. Dia telah pergi
ke dokter. Dan dokter-dokter mengatakan, bahwa impotensinya adalah semacam psyhiachenya
sendiri. Yang dapat mengobatinya hanya jiwanya sendiri. Atau sesuatu di luar
yang dapat melepaskan tekanan jiwanya yang merasa tidak kuasa.” (JTAU, 2010:29).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
isa mengalami masalah gangguan seksual yaitu impoten. Guru Isa merasa tertekan
dengan keadaan ini, dia tidak bisa memenuhi hasrat seksologisnya kepada
istrinya bahkan dia merasa bersalah kepada istrinya. Perasaan itulah yang
selalu membuat Guru Isa merasa tertekan dan merasa lemah menjadi seorang
lelaki. Penyakitnya yang bisa disembuhkan hanya dirinya bukan dokter.
Guru Isa
malu kelaki-lakiannya tidak berdaya,
“Ketika itu dia menundukkan
kepalanya penuh malu kelaki-lakiannya yang tiada berdaya. Dia diam tidak
membantah lagi. Demikian anak pungut mereka, laki-laki kecil, salim, berumur
empat tahun, datang ke dalam penghidupan mereka. Untuk menggantikan anak yang seharusnya
dapat diberikannya. Tetapi jauh dalam hatinya anak itu merupakan tanda tiada
daya laki-lakinya.” (JTAU,
2010:30).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa semakin tertekan dengan datangnya anak pungut yang telah mereka rawat
semenjak kecil. Dia semakin menganggap dirinya lemah dan kelaki-lakiannya tidak
berdaya. Batinnya semakin tersiksa dan menderita.
Guru Isa selain memiliki perasaan
cemas, takut, dia juga memiliki rasa bangga dengan dirinya,
“Di samping segala perasaan cemas,
takut, ngeri yang bercampur-campur menggoda perasaannya, Guru isa merasa juga
sedikit bangga pada dirinya, karena dia ikut menjadi anggota sebuah organisasi
rahasia. Seakan-akan hatinya terobati dengan memikirkan, bahwa dia ikut
berjuang. Dan kadang-kadang timbul rasa lebih dirinya, jika dia berpikir, bahwa
istrinya tinggal di rumah sedang dia melakukan kerja yang berbahaya di samping
menjadi guru”.
(JTAU, 2010:43).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa merasa bangga kalau dirinya ikut berjuang di negeri ini, seakan-akan dia
bisa mengalahkan segala perasaannya yang selalu diliputi rasa cemas, khawatir,
ketakutan seakan semuanya sirna bahkan dia bisa mengalahkan semua
perasaan-perasaannya itu.
Guru
Isa menyadari keadaan dirinya,
“Guru Isa menarik napas berat-berat. Dia tahu
hal ini tidak mungkin. Tidak mungkin terjadi selama keadaannya masih belum juga
berubah.” (JTAU,
2010:56).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa menyadari bahwa dirinya tidak mungkin bisa mengatasi permasalahan yang
selama ini selalu dianggapnya sangat menyiksa dan menekan batinnya.
Guru Isa
merasa cinta Fatimah sudah tidak ada,
“Amat berat terasa bagi guru Isa
untuk merenggutkan matanya dari mata Fatimah, karena hingga ke akhirnya dia
masih berharap juga. Dalam hatinya, sebagai biasa juga pada waktu-waktu seperti
ini. Guru Isa merasa pilu sekali. Dia amat benci dan sedih melihat sinar mata
Fatimah yang tiada mengandung kasih dan cinta. Hanya sinar mata seorang
asing yang merasa belas kasihan dengan orang lain. Tidak ada lagi yang lain.
Yang lebih dalam dan lebih mesra.” (JTAU, 2010:58-59).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa merasa sudah tidak dicintai oleh istrinya, Fatimah yang ada hanyalah sorot
mata benci, dan sedih. Guru Isa merasa dirinya tidak dibutuhkan lagi oleh
istrinya dan istrinya hanya merasa kasihan saja kepada guru Isa tidak ada
perasaan cinta seperti yang diharapkan Guru Isa.
Guru Isa
ketakutan dalam penjara,
“Guru Isa merasa hatinya seakan
diperas oleh tangan yang dingin. Terkejut, ngeri dan takut. Udara rasanya
padat, mengandung napas maut. Dia melihat kepada Hazil. Muka Hazil juga
menegang, dan pucat sedikit. Matanya jadi keras dan sejuk.” (JTAU, 2010:82).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa merasa ketakutan karena peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya demikian
juga dengan Hazil, dia juga merasa takut dengan apa yang mereka berdua lakukan
dan hukuman seakan sudah mengancam di depan mata mereka.
Guru
Isa takut pada Fatimah karena tidak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya,
“Dia tahu dia tidak bisa datang pada
Fatimah dengan kesepiannya. Tidak bisa datang lagi dengan ketakutannya. Dengan
kengeriannya. Dengan kepiluaannya. Dengan kesenangan hatinya. Kesenangan hati
yang sudah semakin jarang timbul dalam dirinya, tak ubahnya sebagai orang
keluar dari hutan, dan pohon-pohon semakin jarang, dan semakin jarang hingga
orang tiba pada gurun tandus yang keras, dan kering.” (JTAU,
2010:132-133).
Berdasarkan kutipan di atas, Guru
Isa tidak bisa membahagiakan istrinya terutama masalah seksologi. Dia merasa
ketakutan setiap mau mendatangi istrinya, takut kalau istrinya menolaknya
seperti waktu dia baru menikah. Dia benar-benar dicekam oleh perasaan
takut sehingga membuat dirinya jadi tidak berarti dalam menjalani hidup ini.
Guru Isa Berubah Sifatnya
dari Penakut Menjadi Pembarani,
“Dia telah
menguasai dirinya sendiri. Tiada benar dia tidak merasa takut lagi. Tetapi dia
telah damai dengan takutnya. Telah belajar bagaimana harus hidup dengan rasa
takut”. (JTAU, 2010:164).
Berdasarkan
kutipan di atas, Guru Isa awalnya mempunyai rasa takut yang sangat besar.
setelah mendapat siksaan dari sekutu rasa takut yang ada pada dirinya
menghilang dan tibul rasa keberanian dan kelelaki-lakiaannya kembali lagi.
2. Aspek psikologi yang
dialami tokoh Hazil adalah sebagai berikut.
Hazil
seorang pemusik handal dan Komposer,
“Beberapa minggu penghabisan
ini,”Jawab Hazil,”saya tidak berani bercerita padamu, takut tidak akan
berhasil. Hingga sekarang aku juga masih bimbang ….rasanya belum cukup kuat aku
gambarkan perjuangan manusia dalam musik ini…. Perjuangan manusia semenjak zaman
dahulu ….. perjuangan memburu kebahagiaan.” (JTAU, 2010:43).
Berdasarkan kutipan di atas, Hazil adalah seorang
pemain musik yang handal dan seorang komposer, ia ingin sekali membuat lagu
bukan untuk kesenangannya sendiri tetapi untuk semua orang.
Hazil tidak
pernah ragu-ragu,
“Dalam perjuangan kemerdekaan ini,
tidak ada tempat pikiran kacau dan ragu-ragu,” kata Hazil. “Saya tidak pernah
ragu, dari mulai. Saya sudah tahu-semenjak mula-bahwa jalan yang kutempuh ini
adalah tidak ada ujung. Dia tidak akan ada habis-habisnya kita tempuh. Mulai
dari sini sini, terus, terus, terus tidak ada ujungnya….” (JTAU, 2010:49).
Berdasarkan kutipan di atas, Hazil seorang
yang pemberani tidak memiliki keraguan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hazil
tidak pernah ragu dengan apa yang telah dipilihnya.
Hazil memiliki
perasaan suka kepada Fatimah,
“Hazil tidak menyahut, dan sebentar
sunyi dalam dapur itu, hanya bunyi kretakan apai makan kayu. Tiba-tiba mereka
berdua merasa benar, bahwa hanya mereka dalam dapur kecil dan panas itu. Hanya
mereka. Hazil melihat pada Fatimah. Fatimah melihat padanya. Mereka berdua
merasa tiba-tiba udara menjadi pekat dan tegang dan mengandung sesuatu”. (JTAU, 2010:116).
Berdasarkan kutipan di atas, Hazil
dan Fatimah merasa ada sesuatu yang membuat keduanya tertarik dan akhirnya
membuat kedua insane ini lupa dengan status mereka masing-masing dan terjadilah
apa yang seharusnya tidak terjadi. Kedua insan tersebut melakukan sesuatu yang
dilarang agama dan tiada rasa penyesalan.
Hazil
berkhianat pada Guru Isa,
“Hazil menundukkan matanya,
mengelakkan pandangan guru Isa. Aku berkhianat, aku khianati dia, tuduhnya pada
dirinya sendiri, sekarang dia di sini menghadapi siksaaan seperti aku, karena
aku pengecut, tidak tahan siksaan, dan Hazil menundukkan kepalanya ke dadanya,
penuh malu kelaki-lakiannya dan malu persahabatan yang dikhianati, dan menangis
terisak-isak seperti anak kecil.” (JTAU, 2010:158).
Berdasarkan kutipan di atas, Hazil
yang dikenal sebagai pemusik dan sahabat Guru Isa ternyata dia berkhianat pada
temannya sendiri. Dia sangat menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya, dia
merasa telah mengingkari janjinya sendiri dan dia juga telah membuat Guru Isa
menjadi menderita.
Hazil Berubah Sifatnya dari
Pemberani Menjadi Penakut
“Hazil
menundukkan matanya, mengelakkan pandangan Guru Isa. Aku berkhianat, aku
menghianati dia, tuduhnya pada dirinya sendiri, sekarang dia disini menghadapi
siksaaan seperti aku, karena aku pengecut, tidak tahan siksaan, dan Hazil
menundukkan kepalanya ke dadannya, penuh malu kelaki-lakiannya dan malu
persahabatan yang dikhianati, dan menangis terisak-isak seperti anak kecil”. (JTAU,
2010:158).
Berdasarkan
kutipan di atas Hazil pemuda yang awalnya pemberani, bersemangat ketika ia
mendapat siksaan rasa takutnya muncul dan keberaniaannya hilang.
Melalui tokoh Isa dan Hazil, Mochtar
Lubis mengambarkan kejiwaan manusia dengan segala aspeknya pada zaman itu.
BAB V
Penutup
Simpulan
Novel
karya Mochtar Lubis terbit pertama kali pada tahun 1952. Novel ini menceritakan
masa-masa revolusi yang membuat masyarakat mengalami ketakutan, jiwa yang tidak
tentram dan nyaman dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Novel
Jalan Tak Ada Ujung memiliki unsur
intrinsik dengan tema “Seorang Guru yang mengalami ketakutan dimasa revolusi”
ketakutannya membuat hari-hari Guru Isa (tokoh utama) menjadi tidak tenang.
Ketakutan yang ada pada dirinya membuat ia tidak bisa memenuhi kebutuhan
biologis istrinya. Ia mengalami impoten.
Novel
ini menggunakan plot lurus. Pencitraan tidak ruwet dan berbelit, tetapi suasana
tertentu yang ingin dibangun penulisnya benar-benar mengena. Bercerita tentang
keadaan masa revolusi dengan ketakutan Guru Isa dan Keberanian Hazil.
Mencerminkan kehidupan manusia. Walau akhirnya ketakutan yang dialami Guru Isa
hilang berganti dengan keberanian, dan Hazil yang pemberani pada akhirnya
mengalami ketakutan.
Psikologis
tokoh Guru Isa yang memiliki ketakutan sangat dalam pada setiap hal yang ia
alami, akhirnya rasa takut itu berubah manjadi keberanian setelah mengalami
penyiksaan betubi-tubi dari tentara Belanda. Sebaliknya Hazil yang memiliki
semangat yang menggebu-gebu di awal cerita, berakhir dengan berubahnya ia
menjadi seorang penakut setelah mendapat penyiksaan dari tentara Belanda.
Novel
Jalan Tak Ada Ujung, jika dikaji
aspek psikologis para tokohnya tidak sesuai dengan judul, karena psikologis
dalam novel diceritakan menemukan ujung (tokoh utama menemukan keberaniannya).
Tetapi, yang dimaksud novel Jalan Tak ada
Ujung disini yaitu perjuangan dan nasionalisme pada masa itu yang tiada
berujung, walau sudah merdeka akan tetapi masih mengalami penjajahan.
Alat
musik biola yang sering dimainakan oleh tokoh utama memiliki hubungan diantara
keduanya, alat musik biola digunakan oleh tokoh utama untuk menghilangkan rasa
takut Guru Isa, terutama ketika hazil memainkan biola dengan baik ia terpukau,
dan merasakan tenang dan senang. Biola alat musik klasik kepunyaan orang Barat
yang dipakai pada masa kemerdekaan untuk membuat lirik lagu kemerdekaan, mengumandangkan
lagu Indonesia dengan biola, dan beberapa novel klasik menggunakan alat musik
biola sebagai bahan cerita.
Novel
Jalan Tak Ujung sering menggunakan latar
tempat di Karawang. Karawang memiliki sejarah karena ada peristiwa perjanjian
Linggar Jati, dan pusat pemuda pejuang pada masa-masa revolusi berada di sana.
Rengas Dengklok, Karawang tempat pengasingan Bung Karno. Bangsa Belanda datang
ke Indonesia betujuan merebut tanah Indonesia, untuk dijadikan milik mereka,
walau sudah mengadakan perjanjian “Linggar Jati”, dalam perjanjian itu ada hal
yang dapat menjadi kelemahan dan menguntungkan bagi Indonesia, seperti
Kelemahannya, bila ditinjau dari segi wilayah kekuasaan, daerah RI menjadi
sempit. Tetapi bila ditinjau dari segi keuntungannya, kedudukan Indonesia di
mata internasional semakin kuat karena banyak negara seperti Inggris, Amerika,
dan negara-negara Arab mengakui kedaulatan negara RI. Hal ini tidak terlepas
dari peran politik diplomasi Indonesia yang dilakukan oleh Sutan Syahrir, H.
Agus Salim, Sujatmoko, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo dalam sidang Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. “Pendekatan
Psikologi Sastra”. http://www.majalahpendidikan.com/2011/10/pendekatan-psikologi-sastra.html.
diaksese tanggal 6 April 2013, pukul 12.30.
Andhies,
Mahrus. “Pembicaraan Singkat Beberapa Karya Fiksi Mochtar Lubis.” Pedoman Rakyat, 2 Februari 1984.
Atmakusumah,
Mochtar Lubis Wartawan Jihad. Jakarta:
Harian Kompas, 1992.
Darni, “Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis Dan Eksistensiausme”. Sartre.darni.cv.unesa.ac.id/bank/201204/JALAN_TAK_ADAUJUNG.pdf.
diakses tanggal 6 April 2013, pukul 12.00.
Redaksi PM, Satra Indonesia. Depok: Pustaka Makmur:
2012
Rosidi, Ajib. Biografi Mochtar Lubis. Jakarta:
Dokumentasi Kesusastraan Hb. Jassin.
Semma , Mansyur. Negara
dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor, 2008.
[1] Darni, Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis Dan Eksistensiausme Sartre. darni.cv.unesa.ac.id/bank/201204/JALAN_TAK_ADAUJUNG.pdf, diakses tanggal 6 April 2013, pukul 12.00.
[2] Atmakusumah, Mochtar Lubis Wartawan Jihad ( Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm.
326.
[3] Mansyur Semma, Negara
dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor, 2008),
h. 139.
[4] Ajib Rosidi, Biografi Mochtar Lubis (Jakarta: Dokumentasi Kesusastraan Hb.
Jassin), Siwalan 3.
[5] Mansyur Semma, Negara
dan Korupsi, h. 310-311.
[6] Redaksi PM, Satra Indonesia (Depok: Pustaka Makmur: 2012), h. 50
[7] Mahrus Andhies, “Pembicaraan
Singkat Beberapa Karya Fiksi Mochtar Lubis,” Pedoman Rakyat, 2 Februari
1984, h. 8.
[8] Anonim, “Pendekatan
Psikologi Sastra”,
http://www.majalahpendidikan.com/2011/10/pendekatan-psikologi-sastra.html. diaksese
tanggal 6 April 2013, pukul 12.30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar