PRINSIP KESANTUNAN LEECH
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pragmatik
Oleh Kelompok I
Tazka Adiati 1110013000050
Deby Rachma Rizka 1110013000085
Nurfitria Harnia 1110013000087
Rizka Argafani 1110013000088
Holida Hoirunnisa 1110013000100
Ihda Auliaunnisa 1110013000111
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
- Pengertian Pragmatik dan Kesopanan
Pragmatik
adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang tindak tutur yang juga mengkaji
tentang cara berbicara atau cara melakukan komunikasi yang baik dan benar
sehingga pesan atau maksud dari pembicaraan tersebut dapat atau bisa ditangkap
oleh lawan bicara.
Norma sopan santun adalah peraturan hidup yang
timbul dari hasil pergaulan sekelompok itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang
dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan,
atau waktu.
Contoh-contoh norma kesopanan ialah:
- Menghormati orang yang lebih tua.
- Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.
- Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
- Tidak meludah di sembarang tempat.
- tidak menyela pembicaraan.
Norma kesopanan sangat penting untuk diterapkan,
terutama dalam bermasyarakat, karena norma ini sangat erat kaitannya terhadap
masyarakat. Sekali saja ada pelanggaran terhadap norma kesopanan, pelanggar
akan mendapat sanki dari masyarakat, semisal cemoohan. kesopanan merupakan
tuntutan dalam hidup bersama. Ada norma yang harus dipenuhi supaya diterima
secara sosial.
Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan adalah tidak
tegas, tetapi dapat diberikan oleh masyarakat, yang berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan
dari pergaulan serta di permalukan.
B. Kesantunan
Kesopansantunan pada
umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut
sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Dalam percakapan, ‘diri sendiri’
biasanya dikenal sebagai ‘pembicara’, dan orang lain sebagai penyimak.
Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik, diturakan oleh beberapa ahli.
Diantaranya adalah Fraser, Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Namun, dalam
makalah ini hanya akan dipaparkan pandangan kesantunan menurut Leech. Karena
rumusan Leech dianggap paling lengkap dan paling komprahensif.
C. Maksim Kesantunan Leech
Prinsip
kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan
paling komprehensif adalah prinsip kesantunan yang dirumuskan oleh Leech
(1983). Rumusan dari prinsip kesantunan itu selengkapnya tertuang dalam enam
maksim interpersonal yang disebutkan berikut ini: 1.Tact maxim: Minimize cost to other. Maximize benefit to other, 2.
Generosity Maxim: Minimize benefit to self. Maximize cost to self; 3.
Approbation maxim: Minimize disprais. Meximize praise of other; 4. Modesty
maxim: Minimize praise of self. Maximize dispraise of self; 5. Agreement maxim:
minimize disagreement between self and other. Maximize agreement between self
and other; 6. Sympathy maxim: Minimize antipathy between self and other. Maxim
symphaty between self and other. (Leech, 1983: 119)
Dalam
rumusan bahasa Indonesia, Wijana (1996) menyampaikan maksim-maksim di dalam
prinsip kesatuan (politeness principle) itu
sebagai berikut: 1. Maksim kebijaksanaan, 2. Maksim penerimaan, 3. Maksim
kemurahan, 4. Maksim kerendahan hati, 5. Maksim kecocokan, 6. Maksim
kesimpatisan.
1.
Maksim Kebijaksanaan
Buatlah kerugian
orang lain sekecil mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin
(Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27). Gagasan dasar maksim kebijaksanaan
dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya
berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri
dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur
yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan
sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada
maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengaki, iri hati, dan
sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam
sebuah pertuturan juga dapat diminimalisir dengan maksim ini. Maksim
kebijaksanaan ini harus diungkapakan dengan tuturan impositif dan tuturan
komisif.
Contoh: Jika tidak keberatan, sudilah datang dalam
acara nanti malam!”
2.
Maksim
Penerimaan
Kurangi keuntungan diri
sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri (Leech diterjemahkan oleh Oka,
1993: 27). Jika setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan dalam
ucapan dan perbuatan dalam pergaulan sehari-hari, maka kedengakian, iri hati,
sakit hati antara sesama dapat terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau
maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati
orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat
mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi
pihak lain. Adapun tuturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan
kebijaksanaan ini adalah tuturan komisif dan impositif.
Contoh:
A :
“Tarianmu bagus sekali.”
B : “Ah, tidak sebagus itu, Pak.”
3.
Maksim Kemurahan
Menggariskan untuk
rendah hati kepada orang lain. Adapun tuturan yang dapat digunakan untuk
melaksanakan kebijaksanaan ini adalah tuturan ekspresif dan tuturan asertif.
Contoh: Jangan, tidak usah!
Biar saya saja yang membuka jendelanya.”
4.
Maksim Kerendahan Hati
Kurangi pujian pada
diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri (Leech diterjemahkan oleh Oka,
1993: 27). Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta
tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila
di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan
hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
Contoh: “Saya
juga masih dalam taraf belajar, Bu.”
5.
Maksim Kecocokan
Kurangi ketidaksesuaian
antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri
sendiri dengan orang lain (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27)..
Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996: 59). Di dalam maksim ini, ditekankan agar para pererta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. diungkapakan dengan menggunakan tuturan ekspresif dan asertif.
Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996: 59). Di dalam maksim ini, ditekankan agar para pererta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. diungkapakan dengan menggunakan tuturan ekspresif dan asertif.
Contoh: “Saya setuju sekali
dengan pendapat Anda.”
6.
Maksim Kesimpatian
Kurangi antipasti
antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri
dengan orang lain (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27). Di dalam maksim
kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap
simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap
salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.
Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap
orang lain ini di dalam komunikasi kesehariaanya. Orang yang bersikap antipasi
terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan
dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. lazim
juga diungkapkan dengan tituran
asertif dan ekspresif.
Contoh:
“Saya sangat turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas
meninggalnya Adinda tercinta.”
D. Skala Kesantunan Leech
Setiap maksim
interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan
sebuah tuturan. Skala kesantunannya adalah sebagai berikut:
1)
Skala kerugian atau keuntungan
(Cost-benefit scale)
Menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan itu merugikan diri penutur,
akan semakin dianggap santun lah tuturan itu. Demikian sebaliknya.
Contoh:
(1) “Tutup pintunya!”
(2) “Lihatlah film kesukaanmu
sedang diputar!”
(3) “Silahkan dimakan kuenya!”
2)
Skala pilihan (optionally scale)
Menunjuk
kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si
mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan
penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan
dianggap semakin santunlah tuturan itu, dan begitu pula sebaliknya.
Contoh:
(1)“Ambillah surat yang tertinggal di kantor!”
(1)“Ambillah surat yang tertinggal di kantor!”
(2) “Jika ada waktu, pergilah
ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
(3)“Jika ada waktu dan tidak
mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal, itu jika kamu
mau dan tidak berkeberatan!”
3)
Skala ketidaklangsungan (indirectness
scale)
Menunjuk
kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin
tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan
itu. Demikian pula sebaliknya.
Contoh:
(1) “Coba ceritakan kronologis kejadiannya!”
(1) “Coba ceritakan kronologis kejadiannya!”
(2)
“Bersediakah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”
(3)
“Keberatankah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”
4)
Skala keotoritasan (authority scale)
Menunjuk
kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan
mitra tutur, tuturan itu akan cenderung menjadi semakin santun. Dan begitu pula
sebaliknya.
5)
Skala jarak sosial (social distance scale)
Menunjuk
kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderuangna bahwa semakin dekat jarak peringkat
sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara
penutur degan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur.
Dengan pembahasan di
atas dapat ditegaskan bahwa keberhasilan suatu percakapan atau konversasi
ditentukan oleh terlaksananya prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun, yaitu
dengan penggunaan sepuluh jenis maksim atau ungkapan secara tepat dan serasi.
Disamping hal-hal yang
telah dibahas di atas tentunya masih ada faktor-faktor lain yang turut
menentukan kelancaran percakapan atau tindak ujar, antara lain “Pengalaman
‘dunia nyata’ yang dimanfaatkan orang dalam percakapan yang melibatkannya –
atau paling sedikit yang dipelajarinya – kalau pemahaman perlu dalam terhadap
maknanya terlaksana,” yang biasa disebut dengan presuposisi atau presupposition (Finocchiaro; 1982:9).
Dengan perkataan lain, dapat disimpulkan bahwa presuposisi (perkiraan
prasangka) merupakan suatu dasar utama bagi telaah mengenai bagaimana
terjadinya interaksi antara semantik dan pragmatik.
Pengetahuan mengenai
tindak ujar sangat penting bagi pengajaran bahasa, pengajaran pragmatik pada
khususnya. Apabila dipakai dalam konteks, maka suatu ucapan tidak hanya
mengandung makna alamiah atau makna proposisional, tetapi mengandung makna
sebagai suatu tindak ujar.
Sebagai contoh,
perhatikan kalimat pintu itu terbuka.
Makna kalimat itu ialah bahwa suatu objek atau benda nyata yang kita kenal
sebagai pintu berada dalam suatu
posisi tertentu pada dinding sehingga terdapat suatu jalan keluar masuk pada
dinding itu. Akan tetapi jika saya mengatakan kepada anda yang sedang duduk
dalam kamar yang berangin “pintu itu
terbuka” maka jelas bahwa tidak mungkin anda akan menginterpretasikan
ucapan saya hanya dari segi makna alamiahnya saja. Anda akan mencari tujuan
atau maksud ucapan saya, dan anda akan berupaya
menfsirkan tujan saya dalam mnegatakan ap yang telah saya katakan itu.
Jelaslah, bahwa dalam contoh tersebut saya menyarankan agar anda menutup pintu
karena angin masuk, tetapi dalam konteks lain dengan ucapan yang persis sama dapat
juga berarti suatu peringatan (misalnya: dalam kendaraan yang berjalan laju),
suatu undangan (misalnya: di luar kamar tempat suatu pesta sedang berlangsung),
atau sebagai suatu ancaman, (misalnya seorang penjaga keamanan mengeluarkan
seorang yang tidak dikehendaki).
Teori tidak ujar
memusatkan perhatian pada cara penggunaan bahasa mengkomunikasikan maksud dan
tujuan sang pembicara dan juga dengan maksud penggunaan bahasa yang
dilaksanakannya. Pemerian yang komprehensif dan ekplisit mengenai pelaksanaan
tindak ujar ini mempunyai nilai penting bagi pengajaran dan pelajaran, bagi
guru dan siswa dalam berinteraksi belajar mengajar.
Kesimpulan
Dari uraian pembahasan di atas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
mengkaji tentang tindak tutur yang juga mengkaji tentang cara berbicara atau
cara melakukan komunikasi yang baik dan benar agar pesan yang disampaikan dapat
ditangkap oleh lawan bicara.
2.
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di
dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan
bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan
tuturnya. Keempat maksim tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
dan maksim kesederhanaan. Sedangkan dua maksim lainya (maksim mufakat dan
maksim simpatisan).
3.
Skala kesantunan Leech : 1. Skala
kerugian atau keuntungan 2. Skala pilihan 3. Skala Ketidaklangsungan 4. Skala
keotoritasan 5. Skala jarak sosial.
4.
faktor-faktor lain yang turun menentukan
kelancaran percakapan atau tindak ujar, antara lain “Pengalaman ‘dunia nyata’
yang dimanfaatkan orang dalam percakapan yang melibatkannya – atau paling
sedikit yang dipelajarinya – kalau pemahaman perlu dalam terhadap maknanya
terlaksana,” yang biasa disebut dengan presuposisi atau presupposition (Finocchiaro; 1982:9)
Daftar
Pustaka
Anonim. “Norma Sopan Santun”. http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_sopan_santun.
diakses tanggal 5 November 2012
Geoffrey, Leech. Prinsip-prinsip
Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. 1993
Rahardi Kunjana. Sosiopragmatik.
Jakarta: Erlangga. 2009
Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. 2009
Triyuni Setyorini. “Contoh Maksim dan Skala”. http://triyunisetyorini.blogspot.com/2011/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html.
diakses tanggal 5 November 2012
terima kasih atas informasi dan artikelnya...sangat membantu untuk mengerjakan tugas gan...
BalasHapuskunjungi balik di sini ya gan...terima kasih...