Kamis, 06 Februari 2014

PRAGMATIK

PRINSIP KESANTUNAN LEECH
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pragmatik









Oleh Kelompok I

Tazka Adiati               1110013000050
Deby Rachma Rizka   1110013000085
Nurfitria Harnia          1110013000087
Rizka Argafani            1110013000088
Holida Hoirunnisa       1110013000100
Ihda Auliaunnisa         1110013000111





  


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012




  1. Pengertian Pragmatik dan Kesopanan
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang tindak tutur yang juga mengkaji tentang cara berbicara atau cara melakukan komunikasi yang baik dan benar sehingga pesan atau maksud dari pembicaraan tersebut dapat atau bisa ditangkap oleh lawan bicara.
Norma sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau waktu.
Contoh-contoh norma kesopanan ialah:
  1. Menghormati orang yang lebih tua.
  2. Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.
  3. Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
  4. Tidak meludah di sembarang tempat.
  5. tidak menyela pembicaraan.
Norma kesopanan sangat penting untuk diterapkan, terutama dalam bermasyarakat, karena norma ini sangat erat kaitannya terhadap masyarakat. Sekali saja ada pelanggaran terhadap norma kesopanan, pelanggar akan mendapat sanki dari masyarakat, semisal cemoohan. kesopanan merupakan tuntutan dalam hidup bersama. Ada norma yang harus dipenuhi supaya diterima secara sosial.
Sanksi bagi pelanggar norma kesopanan adalah tidak tegas, tetapi dapat diberikan oleh masyarakat, yang berupa cemoohan, celaan, hinaan, atau dikucilkan dan diasingkan dari pergaulan serta di permalukan.

B.     Kesantunan

Kesopansantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang dapat disebut sebagai ‘diri sendiri’ dan ‘orang lain’. Dalam percakapan, ‘diri sendiri’ biasanya dikenal sebagai ‘pembicara’, dan orang lain sebagai penyimak. Pandangan kesantunan dalam kajian pragmatik, diturakan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Fraser, Leech, Robin Lakoff, Bowl dan Levinson. Namun, dalam makalah ini hanya akan dipaparkan pandangan kesantunan menurut Leech. Karena rumusan Leech dianggap paling lengkap dan paling komprahensif.


C.    Maksim Kesantunan Leech
Prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan paling komprehensif adalah prinsip kesantunan yang dirumuskan oleh Leech (1983). Rumusan dari prinsip kesantunan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal yang disebutkan berikut ini: 1.Tact maxim: Minimize cost to other. Maximize benefit to other, 2. Generosity Maxim: Minimize benefit to self. Maximize cost to self; 3. Approbation maxim: Minimize disprais. Meximize praise of other; 4. Modesty maxim: Minimize praise of self. Maximize dispraise of self; 5. Agreement maxim: minimize disagreement between self and other. Maximize agreement between self and other; 6. Sympathy maxim: Minimize antipathy between self and other. Maxim symphaty between self and other. (Leech, 1983: 119)   
Dalam rumusan bahasa Indonesia, Wijana (1996) menyampaikan maksim-maksim di dalam prinsip kesatuan (politeness principle) itu sebagai berikut: 1. Maksim kebijaksanaan, 2. Maksim penerimaan, 3. Maksim kemurahan, 4. Maksim kerendahan hati, 5. Maksim kecocokan, 6. Maksim kesimpatisan.

1.      Maksim Kebijaksanaan

Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27). Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengaki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat diminimalisir dengan maksim ini. Maksim kebijaksanaan ini harus diungkapakan dengan tuturan impositif dan tuturan komisif.
Contoh:  Jika tidak keberatan, sudilah datang dalam acara nanti malam!”
                    

2.      Maksim  Penerimaan

Kurangi keuntungan diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27). Jika setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan dalam ucapan dan perbuatan dalam pergaulan sehari-hari, maka kedengakian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Adapun tuturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaan ini adalah tuturan komisif dan impositif.
Contoh:
A : “Tarianmu bagus sekali.”
     B : “Ah, tidak sebagus itu, Pak.”


3.      Maksim Kemurahan
Menggariskan untuk rendah hati kepada orang lain. Adapun tuturan yang dapat digunakan untuk melaksanakan kebijaksanaan ini adalah tuturan ekspresif dan tuturan asertif.
Contoh: Jangan, tidak usah! Biar saya saja yang membuka jendelanya.”

4.      Maksim Kerendahan Hati

Kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27). Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
Contoh: “Saya juga masih dalam taraf belajar, Bu.”

5.      Maksim Kecocokan

Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27)..
Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan (Wijana, 1996: 59). Di dalam maksim ini, ditekankan agar para pererta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. diungkapakan dengan menggunakan tuturan ekspresif dan asertif.
            Contoh: “Saya setuju sekali dengan pendapat Anda.”


6.      Maksim Kesimpatian

Kurangi antipasti antara diri sendiri dengan orang lain. Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain (Leech diterjemahkan oleh Oka, 1993: 27). Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariaanya. Orang yang bersikap antipasi terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. lazim juga diungkapkan dengan tituran asertif dan ekspresif.
Contoh: “Saya sangat turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Adinda tercinta.”


D.    Skala Kesantunan Leech

Setiap maksim interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Skala kesantunannya adalah sebagai berikut:

1)      Skala kerugian atau keuntungan (Cost-benefit scale)
Menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan itu merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santun lah tuturan itu. Demikian sebaliknya.
Contoh:
(1) “Tutup pintunya!”
(2) “Lihatlah film kesukaanmu sedang diputar!”
(3) “Silahkan dimakan kuenya!”


2)      Skala pilihan (optionally scale)
Menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu, dan begitu pula sebaliknya.
Contoh:
 (1)“Ambillah surat yang tertinggal di kantor!”
(2) “Jika ada waktu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal!”
(3)“Jika ada waktu dan tidak mengganggu, pergilah ke kantor mengambil surat yang tertinggal, itu jika kamu mau dan tidak berkeberatan!”


3)      Skala ketidaklangsungan (indirectness scale)
Menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian pula sebaliknya.
  Contoh:
 (1) “Coba ceritakan kronologis kejadiannya!”
(2) “Bersediakah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”
(3) “Keberatankah Anda menceritakan kronologis kejadiannya?”


4)      Skala keotoritasan (authority scale)
Menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, tuturan itu akan cenderung menjadi semakin santun. Dan begitu pula sebaliknya.


5)      Skala jarak sosial (social distance scale)
Menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderuangna bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur degan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.

Dengan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa keberhasilan suatu percakapan atau konversasi ditentukan oleh terlaksananya prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun, yaitu dengan penggunaan sepuluh jenis maksim atau ungkapan secara tepat dan serasi.

Disamping hal-hal yang telah dibahas di atas tentunya masih ada faktor-faktor lain yang turut menentukan kelancaran percakapan atau tindak ujar, antara lain “Pengalaman ‘dunia nyata’ yang dimanfaatkan orang dalam percakapan yang melibatkannya – atau paling sedikit yang dipelajarinya – kalau pemahaman perlu dalam terhadap maknanya terlaksana,” yang biasa disebut dengan presuposisi atau presupposition (Finocchiaro; 1982:9). Dengan perkataan lain, dapat disimpulkan bahwa presuposisi (perkiraan prasangka) merupakan suatu dasar utama bagi telaah mengenai bagaimana terjadinya interaksi antara semantik dan pragmatik.

Pengetahuan mengenai tindak ujar sangat penting bagi pengajaran bahasa, pengajaran pragmatik pada khususnya. Apabila dipakai dalam konteks, maka suatu ucapan tidak hanya mengandung makna alamiah atau makna proposisional, tetapi mengandung makna sebagai suatu tindak ujar.

Sebagai contoh, perhatikan kalimat pintu itu terbuka. Makna kalimat itu ialah bahwa suatu objek atau benda nyata yang kita kenal sebagai pintu berada dalam suatu posisi tertentu pada dinding sehingga terdapat suatu jalan keluar masuk pada dinding itu. Akan tetapi jika saya mengatakan kepada anda yang sedang duduk dalam kamar yang berangin “pintu itu terbuka” maka jelas bahwa tidak mungkin anda akan menginterpretasikan ucapan saya hanya dari segi makna alamiahnya saja. Anda akan mencari tujuan atau maksud ucapan saya, dan anda akan berupaya  menfsirkan tujan saya dalam mnegatakan ap yang telah saya katakan itu. Jelaslah, bahwa dalam contoh tersebut saya menyarankan agar anda menutup pintu karena angin masuk, tetapi dalam konteks lain dengan ucapan yang persis sama dapat juga berarti suatu peringatan (misalnya: dalam kendaraan yang berjalan laju), suatu undangan (misalnya: di luar kamar tempat suatu pesta sedang berlangsung), atau sebagai suatu ancaman, (misalnya seorang penjaga keamanan mengeluarkan seorang yang tidak dikehendaki).

Teori tidak ujar memusatkan perhatian pada cara penggunaan bahasa mengkomunikasikan maksud dan tujuan sang pembicara dan juga dengan maksud penggunaan bahasa yang dilaksanakannya. Pemerian yang komprehensif dan ekplisit mengenai pelaksanaan tindak ujar ini mempunyai nilai penting bagi pengajaran dan pelajaran, bagi guru dan siswa dalam berinteraksi belajar mengajar.
 


Kesimpulan


Dari uraian pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang tindak tutur yang juga mengkaji tentang cara berbicara atau cara melakukan komunikasi yang baik dan benar agar pesan yang disampaikan dapat ditangkap oleh lawan bicara.
2.      Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Keempat maksim tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, dan maksim kesederhanaan. Sedangkan dua maksim lainya (maksim mufakat dan maksim simpatisan).
3.      Skala kesantunan Leech : 1. Skala kerugian atau keuntungan 2. Skala pilihan 3. Skala Ketidaklangsungan 4. Skala keotoritasan 5. Skala jarak sosial.
4.      faktor-faktor lain yang turun menentukan kelancaran percakapan atau tindak ujar, antara lain “Pengalaman ‘dunia nyata’ yang dimanfaatkan orang dalam percakapan yang melibatkannya – atau paling sedikit yang dipelajarinya – kalau pemahaman perlu dalam terhadap maknanya terlaksana,” yang biasa disebut dengan presuposisi atau presupposition (Finocchiaro; 1982:9)

 


Daftar Pustaka


Anonim. “Norma Sopan Santun”. http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_sopan_santun. diakses tanggal 5 November 2012

Geoffrey, Leech. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. 1993

Rahardi Kunjana. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga. 2009

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. 2009

Triyuni Setyorini. “Contoh Maksim dan Skala”. http://triyunisetyorini.blogspot.com/2011/03/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html. diakses tanggal 5 November 2012


1 komentar:

  1. terima kasih atas informasi dan artikelnya...sangat membantu untuk mengerjakan tugas gan...
    kunjungi balik di sini ya gan...terima kasih...

    BalasHapus